BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumber hukum islam yang biasa kita gunakan ada empat, diantaranya hadist,
yang merupakan segala perilaku, ucapan
maupun taqlid yang dilakukan oleh Rasulullah yang di ikuti oleh para Sahabat. Untuk itu
kita mempelajari Study Hadist yang membahas tentang pengertian, ilmu-ilmu
hadist, pembagian keshahihan hadist, macam-macam hadist, dan lain sebagainya.
Dan pada perteuan kali ini kami akan
memaparkan tentang pengklasifikasian hadith bedasar pada kualitas
periwayatannya. Semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang hadist.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
itu hadits shohih?
2. Apa
itu hadits hasan?
3. Apa
itu hadits dho’if?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Shohih
Hadits shohih yaitu hadits yang bersambung sanadnya
dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan Dhobit dari perowi pertama sampai
perowi terahirnya, tidak mengandung unsure shadh dan ‘illat.[1]
Menurut ta’rif muhadditsin, bahwa suatu hadits dapat
di nilai shohih, apabila telah memenuhi lima syarat antara lain:
1. Rawinya
bersifat ‘adil, yang di maksud disini yakni ‘adil dalam periwayatannya. Al-Razi
mengemukakan pendapatnya bahwa “ ‘adalah ialah tenaga jiwa yang mendorong
untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi
kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan
mubah yang dapat menodai keperwiraan (muru’ah), seperti makan di jalan umum,
buang air kecil di tempat yang bukan di sediakan untuknya dan bergurauan yang
berleih-lebihan”.[2]
Keadilan seorang rowi menurut Ibnu’s-Sam’any harus memenuhi empat syarat yakni:
Ø Selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
Ø Menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
Ø Tidak
melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan imankepada kadar dan
mengakibatkan penyesalan.
Ø Tidak
mengikuti salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
2. Sempurna
ingatan atau dhobit, dhobit disini di artikan dengan orang yang kuat ingatannya
atau ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada
kesalahannya. Dengan kata lain tidak pelupa, hafal terhadap apa yang di
diktekan kepada muridnya, dan menguasai apa yang di riwayatkan.
3. Sanadnya
tidak putus atau bersambung-sambung, yakni sanadnya selamat dari keguguran atau
para perowi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4. Haditsnya
tidak ber’ilat, yang dimaksud dengan ‘illat hadits yaitu suatu penyakit yang
samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan
hadits secara muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal atau terhadap hadits
munqothi’ dan sebaliknya. Demikian juga dengan adanya suatu sisipan yang
terdapat pada matan hadits.
5. Tiada
janggal, yang di maksud janggal disini bahwa kejanggalan hadits terletak pada
adanya perlawanan antara suatu hadits yang di riwayatkan oleh rowi yang maqbul
(dapat di terima periwayatannya) dengan hadits yang di riwayatkan oleh rowi
yang lebih rajih (kuat) daripadanya, di sebabkan dengan adanya kelebihan jumlah
sanad atau kelebihan dalam kedhobitan rowinya atau adanya segi-segi tarjih yang
lain.
Hadits
shohih di bagi menjadi dua, antara lain:
a) Hadits
shohih li-dzatihi
b) Hadits
shohih li-ghoirihi
B. Hadits Hasan
Hadits hasan yaitu hadits yang
bersambung sanadnya dengan periwayatan perowi yang ‘adil dan dhobit, tetapi
nilai kedhobitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsure syududh dan
‘illat.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
1. Sanad
hadis harus bersambung.
2. Perawinya
adil
3. Perawinya
mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang
dimiliki oleh perawi hadis shahih
4. Hadis
yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5. Hadis
yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hadis
hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria
hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain
untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b. Hadis
hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang
(lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik
atau pendusta.
Dengan demikian hadis hasan li
ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan
karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat
penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
Hadis dha’if dapat ditingkatkan
derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
Ø hadis
tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat
bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari
padanya.
Ø bahwa
sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta
adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dha’if yang bisa naik
kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah,
sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid
dan muttabi’kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi
hasan. meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, tapi dapat dijadikan
sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
C. Hadits Dho’if
Hadist dhaif adalah hadits yang tidak
terpenuhi syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan.[4] Dapar
juga di artikan hadist yang dinisbatkan kepada Rasulullah tetapi tidak memenuhi
syarat – syarat hadist shahih dan hasan. Termasuk dalam dalil yang tidak boleh
dipakai hujjah.
Menurut bahasa dhaif berarti lemah
karena ada cacat pada rawi atau sanadnya.Tetapi ulama generasi belakangan ini
memperbolehkan menggunakan hadist dhaif untuk berhujjah, tetapi dengan
persyaratan – persyaratan berikut ini:
a. Hadist
dhaif hanya digunakan dalam urusan menjelaskan keutamaan – keutamaan suatu
amalan.
b. Isinya
tidak boleh bertentangan dengan hadist shahih.
c. Tidak
keterlaluan dhaifnya.
d. Ketika
mengamalkan hadist itu tidak meyakini sepenuhnya bahwa hadist tersebut berasal
dari Rasulullah.[5]
Jika ada seorang ahli hadist mengatakan
hadist dhaif maka hadist ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Adapun dalam kitab syarah bulughul maram
yang di tulis Ibnu Hajar al-Asqolani diterangkan sifat – sifat rawi sebagai berikut:
a. Tidak
terkenal sebagai pendusta.
b. Tidak
tertuduh sebagai pendusta.
c. Tidak
banyak salahnya.
d. Tidak
kurang telitinya.
e. Tidak
fasiq.
f. Tidak
ragu – ragu.
g. Tidak
ahli bid’ah.
h. Tidak
kurang kuat hafalannya
i.
Tidak sering
menyalahi rawi – rawi yang kuat
j.
Bukan rawi yang
tidak terkenal.[6]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan data-data di atas dapat di tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Hadits
shohih yaitu haidts yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang
‘adil dan Dhobit dari perowi pertama sampai perowi terahirnya, tidak mengandung
unsure shadh dan ‘illat. Suatu hadits dapat di nilai shohih dengan syarat:
perowinya besifat ‘adil, sempurna ingatannya, sanadnya tidak putus, hadits
tidak berillat, dan tidak janggal.
2. Hadits
hasan yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perowi yang
‘adil dan dhobit, tetapi nilai kedhobitannya kurang sempurna, serta selamat
dari unsure syududh dan ‘illat. Dengan kriteria: Sanad hadis harus bersambung, Perawinya
adil, Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang)
dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih, Hadis yang diriwayatkan tersebut
tidak syadz, dan Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak
(qadihah)
3. Hadist
dhaif adalah hadits yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits shohih dan hadits
hasan. Dapar juga di artikan hadist yang dinisbatkan kepada Rasulullah tetapi
tidak memenuhi syarat – syarat hadist shahih dan hasan. Termasuk dalam dalil
yang tidak boleh dipakai hujjah.
4. Hadits
dho’if dapat di jadikan hujjah dengan syarat: Hadist dhaif hanya digunakan
dalam urusan menjelaskan keutamaan – keutamaan suatu amalan, Isinya tidak boleh
bertentangan dengan hadist shahih, Tidak keterlaluan dhaifnya., dan Ketika
mengamalkan hadist itu tidak meyakini sepenuhnya bahwa hadist tersebut berasal
dari Rasulullah.
DAFTAR PUSTAKA
Kathir,
Abu al-Fida’ al-Hafidz Imaduddin Isma’ilibn ‘Umar ibn . al-Ba’ith al-Hadits, Beirut: 1996
Hajar,
Nuz-Hatu’n-Nadhar, Ibnu. Manhaj, 8
Zainu,
Muhammad bin Jamil. Al Firqotun Najiyah. Kairo : 2003
Hassan,
A. Tarjamah bulughul maram. Bandung : 1999
Hasyim,
Ahmad ‘Umar . Qowaid Ushul al-Hadith. t.t
al-Nawawi,
Muhyiddin ibn Sharaf . al-Taqrib wa
al-Taysir . Beirut:1985
[1] Abu al-Fida’ al-Hafidz Imaduddin
Isma’ilibn ‘Umar ibn Kathir, al-Ba’ith al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr,
1996), 18
[2] Nuz-Hatu’n-Nadhar, Ibnu Hajar,
13; Manhaj, 8
[3] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qowaid
Ushul al-Hadith (t.t: Dar al-Fikr, t.t), 74
[4] Muhyiddin ibn Sharaf al-Nawawi, al-Taqrib
wa al-Taysir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1985), 31
[5] Muhammad bin Jamil Zainu, Al Firqotun Najiyah (Kairo : Mathabi’
Ibnu Taimiyah, 2003) Cet. Ke-18, hal. 224.
[6] A. Hassan, Tarjamah bulughul
maram (Bandung : Diponegoro, 1999), hal. 4.
0 komentar:
Post a Comment