Thursday, November 20, 2014

HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYATAN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sumber hukum islam yang biasa kita gunakan ada empat, diantaranya hadist, yang merupakan segala perilaku, ucapan maupun taqlid yang dilakukan oleh Rasulullah yang di ikuti oleh para Sahabat. Untuk itu kita mempelajari Study Hadist yang membahas tentang pengertian, ilmu-ilmu hadist, pembagian keshahihan hadist, macam-macam hadist, dan lain sebagainya.
Dan pada perteuan kali ini kami akan memaparkan tentang pengklasifikasian hadith bedasar pada kualitas periwayatannya. Semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang hadist.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu hadits shohih?
2.      Apa itu hadits hasan?
3.      Apa itu hadits dho’if?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadits Shohih
Hadits shohih yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan Dhobit dari perowi pertama sampai perowi terahirnya, tidak mengandung unsure shadh dan ‘illat.[1]
Menurut ta’rif muhadditsin, bahwa suatu hadits dapat di nilai shohih, apabila telah memenuhi lima syarat antara lain:
1.      Rawinya bersifat ‘adil, yang di maksud disini yakni ‘adil dalam periwayatannya. Al-Razi mengemukakan pendapatnya bahwa “ ‘adalah ialah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak takwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan (muru’ah), seperti makan di jalan umum, buang air kecil di tempat yang bukan di sediakan untuknya dan bergurauan yang berleih-lebihan”.[2] Keadilan seorang rowi menurut Ibnu’s-Sam’any harus memenuhi empat syarat yakni:
Ø  Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
Ø  Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
Ø  Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan imankepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
Ø  Tidak mengikuti salah satu madzhab yang bertentangan dengan dasar syara’.
2.      Sempurna ingatan atau dhobit, dhobit disini di artikan dengan orang yang kuat ingatannya atau ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Dengan kata lain tidak pelupa, hafal terhadap apa yang di diktekan kepada muridnya, dan menguasai apa yang di riwayatkan.
3.      Sanadnya tidak putus atau bersambung-sambung, yakni sanadnya selamat dari keguguran atau para perowi saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
4.      Haditsnya tidak ber’ilat, yang dimaksud dengan ‘illat hadits yaitu suatu penyakit yang samar-samar yang dapat menodai keshohihan suatu hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttasil (bersambung) terhadap hadits mursal atau terhadap hadits munqothi’ dan sebaliknya. Demikian juga dengan adanya suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.
5.      Tiada janggal, yang di maksud janggal disini bahwa kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang di riwayatkan oleh rowi yang maqbul (dapat di terima periwayatannya) dengan hadits yang di riwayatkan oleh rowi yang lebih rajih (kuat) daripadanya, di sebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam kedhobitan rowinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Hadits shohih di bagi menjadi dua, antara lain:
a)      Hadits shohih li-dzatihi
b)      Hadits shohih li-ghoirihi

B.     Hadits Hasan
Hadits hasan yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perowi yang ‘adil dan dhobit, tetapi nilai kedhobitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsure syududh dan ‘illat.[3]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai berikut:
1.      Sanad hadis harus bersambung.
2.      Perawinya adil
3.      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih
4.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz
5.      Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya ke derajat hasan.
b.      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.
Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.
 Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua ketentuan,yaitu:
Ø  hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.
Ø  bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta adanya periwayat yang tak dikenal.
Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar, hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa berubah menjadi hasan. meskipun derajatnya dibawah hadis shahih, tapi dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam beramal.
C.    Hadits Dho’if
Hadist dhaif adalah hadits yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan.[4] Dapar juga di artikan hadist yang dinisbatkan kepada Rasulullah tetapi tidak memenuhi syarat – syarat hadist shahih dan hasan. Termasuk dalam dalil yang tidak boleh dipakai hujjah.
Menurut bahasa dhaif berarti lemah karena ada cacat pada rawi atau sanadnya.Tetapi ulama generasi belakangan ini memperbolehkan menggunakan hadist dhaif untuk berhujjah, tetapi dengan persyaratan – persyaratan berikut ini:
a.       Hadist dhaif hanya digunakan dalam urusan menjelaskan keutamaan – keutamaan suatu amalan.
b.      Isinya tidak boleh bertentangan dengan hadist shahih.
c.       Tidak keterlaluan dhaifnya.
d.      Ketika mengamalkan hadist itu tidak meyakini sepenuhnya bahwa hadist tersebut berasal dari Rasulullah.[5]
Jika ada seorang ahli hadist mengatakan hadist dhaif maka hadist ini tidak dapat dijadikan hujjah.
Adapun dalam kitab syarah bulughul maram yang di tulis Ibnu Hajar al-Asqolani diterangkan  sifat – sifat rawi sebagai berikut:
a.       Tidak terkenal sebagai pendusta.
b.      Tidak tertuduh sebagai pendusta.
c.       Tidak banyak salahnya.
d.      Tidak kurang telitinya.
e.       Tidak fasiq.
f.       Tidak ragu – ragu.
g.      Tidak ahli bid’ah.
h.      Tidak kurang kuat hafalannya
i.        Tidak sering menyalahi rawi – rawi yang kuat
j.        Bukan rawi yang tidak terkenal.[6]


BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan data-data di atas dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hadits shohih yaitu haidts yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan Dhobit dari perowi pertama sampai perowi terahirnya, tidak mengandung unsure shadh dan ‘illat. Suatu hadits dapat di nilai shohih dengan syarat: perowinya besifat ‘adil, sempurna ingatannya, sanadnya tidak putus, hadits tidak berillat, dan tidak janggal.
2.      Hadits hasan yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perowi yang ‘adil dan dhobit, tetapi nilai kedhobitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsure syududh dan ‘illat. Dengan kriteria: Sanad hadis harus bersambung, Perawinya adil, Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang dimiliki oleh perawi hadis shahih, Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syadz, dan Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)
3.      Hadist dhaif adalah hadits yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Dapar juga di artikan hadist yang dinisbatkan kepada Rasulullah tetapi tidak memenuhi syarat – syarat hadist shahih dan hasan. Termasuk dalam dalil yang tidak boleh dipakai hujjah.
4.      Hadits dho’if dapat di jadikan hujjah dengan syarat: Hadist dhaif hanya digunakan dalam urusan menjelaskan keutamaan – keutamaan suatu amalan, Isinya tidak boleh bertentangan dengan hadist shahih, Tidak keterlaluan dhaifnya., dan Ketika mengamalkan hadist itu tidak meyakini sepenuhnya bahwa hadist tersebut berasal dari Rasulullah.


DAFTAR PUSTAKA
Kathir, Abu al-Fida’ al-Hafidz Imaduddin Isma’ilibn ‘Umar ibn .  al-Ba’ith al-Hadits, Beirut: 1996
Hajar, Nuz-Hatu’n-Nadhar, Ibnu. Manhaj, 8
Zainu, Muhammad bin Jamil.  Al Firqotun Najiyah. Kairo : 2003
Hassan, A. Tarjamah bulughul maram. Bandung : 1999
Hasyim, Ahmad ‘Umar . Qowaid Ushul al-Hadith. t.t
al-Nawawi, Muhyiddin ibn Sharaf  . al-Taqrib wa al-Taysir . Beirut:1985


[1] Abu al-Fida’ al-Hafidz Imaduddin Isma’ilibn ‘Umar ibn Kathir, al-Ba’ith al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 18
[2] Nuz-Hatu’n-Nadhar, Ibnu Hajar, 13; Manhaj, 8
[3] Ahmad ‘Umar Hasyim, Qowaid Ushul al-Hadith (t.t: Dar al-Fikr, t.t), 74
[4] Muhyiddin ibn Sharaf al-Nawawi, al-Taqrib wa al-Taysir (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1985), 31
[5] Muhammad bin Jamil Zainu, Al Firqotun Najiyah (Kairo : Mathabi’ Ibnu Taimiyah, 2003) Cet. Ke-18, hal. 224.
[6] A. Hassan, Tarjamah bulughul maram (Bandung : Diponegoro, 1999), hal. 4.

No comments:

Post a Comment