Home
/ "Study Hadits"(KUMPULAN HADIST PADA MASA RASULULLAH,SAHABAT,DAN TABI'IN)
Thursday, November 20, 2014
"Study Hadits"(KUMPULAN HADIST PADA MASA RASULULLAH,SAHABAT,DAN TABI'IN)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai salah satu kajian terhadap
teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir
sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam
tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber
hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas
menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur’an.
Oleh karena itu dari masa-kemasa para sahabat nabi, tabi’in, dan
tabi’in-tabi’in mencurahkan segenap tenaganya untuk melestarikan dan
menyebarkan kepada generasi selanjutnya. Mengingat pentingnya hadis dalam dunia
Islam, maka kajian-kajian atas hadis semakin meningkat, sehingga upaya terhadap
penjagaan hadis itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat
yang dilakukan secara selektif demi menjaga keotentikan hadis itu sendiri.
Oleh karena itu dalam pembahasan ini
penulis akan menyajikan pembahasan singkat tentang perkembangan hadis sebelum
era kodifikasi dan sesudahnya, dilanjutkan dengan pembahasan tentang
pusat-pusat studi hadis dan para tokoh-tokohnya secara rinci.Adapun metode yang
akan dipakai dalam kajian ini adalalah termasuk kategori penelitian literer
atau study pustaka dengan objek berupa naskah-naskah utama (primer), meski
tidak menutup kemungkinan adanya referensi lain sebagai bahan rujuakan sebagai
sumber kedua (skunder) yang erat kaitannya dengan persoalan yang akan
dibahas. Tujuan tulisan ini adalah untuk memahami cara rasul, sahabat,
tabi’in, dan tabi’in tabi’in dalam memelihara hadis dengan sangat berhati-hati
dan bijaksana sehingga dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya sebagai
pusaka dari rasul untuk umatnya dalam mengarungi kehidupan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Hadis pada masa Rasululllah saw.
2.
Hadis pada masa sahabat
3.
Hadis pada masa tabi’in
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Agar dapat mengetahui hadis pada masa Rasulullah
2.
Agar dapat mengetahui hadis pada masa sahabat
3.
Agar dapat mengetahui hadis pada masa tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis pada Masa Nabi
Masa Nabi saw.
dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan
karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak hadis-hadis Nabi yang
datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan
sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa
jahiliah. Para sahabat menyadari betapa penting kedudukan hadis Nabi dalam
agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang
yang meremehkan dan mengingkari akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan
mendapat kebahagiaan.[1]
Tradisi
meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan
masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah
terjadi semenjak awal Islam. Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam
kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyair syariat Allah yang hampir
semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagian yang terkait
dengan urusan duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi
terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka
memenuhi kebutuhan hidup, menghargai majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa
saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan menelaah secara
kritis hadis-hadis yang mereka terima. Jika terjadi persoalan yang menyangkut
kebenaran hadis yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek kebenarannya
kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul dan, bermuamalah dengan
mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan, atau
kekurang pahaman terhadap makna teks hadis, dapat dirujuk pada Nabi.[2]
1.
Cara penyampaian hadis pada masa Nabi
Ada beberapa
teknik atau cara yang ditempuh Nabi saw. dalam menyampaikan hadis kepada para
sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Cara tersebut adalah
Pertama,
melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh
Nabi untuk membina para jamaah. Melalui majelis ini para sahabat memperoleh
banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selalu
mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Menurut catatan Musthafa
al-Siba’i, mereka selalu meluangkan waktu untuk mendatangi majelis ilmu
Rasulullah. Bahkan, mereka melakukan perjalanan yang sangat jauh untuk meminta
solusi kepada Nabi atas masalah yang mereka hadapi.
Di antara mereka memabagi tugas untuk
mendapatkan informasi yang berasal dari Nabi. ‘Umar ibn al-Khathab misalnya,
membagi tugas dengan tetangganya untuk mendapatkan hadis dari Nabi. Pihak yang
bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan
Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Tidak
jarang kepala-kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majelis
Nabi, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sana.
Misalnya, yang dilakukan oleh Malik ibn al-Huwayris yang pernah tinggal bersama
Nabi selama 20 malam, sebagai salah satu anggota rombongan kaumnya.[3]
Huwayris menunjukkan bahwa pada zaman Nabi, para sahabat sangat besar minatnya
menimba pengetahuan langsung dari Nabi, termasuk hadis Nabi yang kemudian
mereka ajarkan kepada keluarga mereka masing-masing.
Kedua, dalam
banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat
tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadis, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk
hal-hal sensitif. Seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan
melalui istri-istrinya. Seperti Nabi menjelaskan tentang seorang wanita yang
bertanya kepada Nabi saw., tentang mandi bagi wanita yang telah suci dari
haidnya.
Keempat,
melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan
haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan
khutbah yang sangat sejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan
ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah,
jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persahabatan,
keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas.[4]
Kelima, melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan
musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu
tersebar di kalangan umat Islam.
2.
Menghafal dan menulis hadis
Pada masa Nabi,
sedikit sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam
menerima hadis adalah dengan ingatan mereka. Menurut ‘Abd al-Nashr, Allah telah
memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
mengahafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadis, syair, dan lainnya.
Untuk melihat kemurnian kedua sumber ajaran agama Islam, yakni al-Qur’an dan
hadis, Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah
memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadis dan membukukannya sebagaimana
al-Qur’an yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau.
Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadis sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudzri. Larangan ini dilakukan karena khawatir
hadis bercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan.[5]
B.
Hadis pada Masa Sahabat
Setelah para
sahabat mulai pandai tulis menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah
dengan sabda Nabi, maka gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya
Nabi berwasiat: saya tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan
tulisan Al-Qur’an dan tumpukan tulisan hadist. Sekali lagi, pada wilayah
kodifikasinya secara resmi yang berbeda. Apabila kodifikasi berupa mushaf,
memang baru terjadi pada khalifah Abu Bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi
menurut pendapat yang masyhur terjadi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H).
Meskipun secara
khusus hadits belum mendapatkan perhatian yang serius, namun kegiatan
periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun dengan jumlah sedikit. Hal
ini karena Abu Bakar, Umar juga dua khalifah terakhir (Utsman dan Ali) sangat berhati-hati dalam menerima
periwayatan sahabat lain, termasuk periwayatan dari Abu Hurairah yang dalam hal
periwayatan hadits dikenal sebagai sahabat yang paling banyak meriwayatkan
hadits.
Seiring dengan
program khalifah Umar bin Khattab meluaskan peta dakwah Islam, membuat para
sahabat terpencar ke berbagai wilayah. Mereka memiliki hadits baik yang dilafal
maupun yang sudah ditulisnya ke tempat penugasan masing-masing. Sehingga di
berbagai pusat kajian Al-Qur’an dan hadits.
Pasca wafatnya
Umar ibn Khattab, kebijakan itu dilanjutkan oleh khalifah Utsman ibn Affan dan
Ali ibn Abi Thalib, sehingga untuk menguasai hadits-hadits Nabi pada waktu itu
tidaklah mudah. Seseorang harus melakukan rihlah ke berbagai wilayah untuk
menemui para sahabat dan kader-kadernya.[6]
Pada masa
inilah lahir para ulama madzhab, sehingga bukan mustahil sat ditanya suatu
persoalan, mereka belum menemukan hadits yang spesifik, akhirnya terpaksa
memberikan jawaban dengan pendekatan ijtihad
murni yang dampaknya bisa benar bisa salah.
Imam Ahmad
memang dikenal getol menghimpun hadits, namun imam Malik justru hanya
mengandalkan hadits-hadits yang masih tersisa di kalangan ulama’ madinah.
Sebenarnya,
jauh sebelumnya, yakni ketika Umar ibn Abdul Aziz sebagai khalifah ke-8 dinasti
Umayyah telah memerintahkan al-Zuhri untuk menghimpun hadist yang oleh ulama’
sebagai tonggak awal pengkodifikasi hadist secara resmi. (Sekali lagi bukan
dianggap penulisan hadist, karena penulisan hadist sudah terjadi sejak zaman
Rasulullah saw.).
Di bawah
kekuasaan halifah Umar ibn ‘Abdul Aziz merasa perlu pembukukan hadist oleh
karena pada sahabat (sisa sahabat yang masih hidup) mulai terpencar di beberapa
wilayah kekuasaan Islam, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang telah meninggal
dunia. Keadaan iini membuat khalifah Umar ibn abdul Aziz bergerak untuk
membukukan hadits.[7]
Untuk
merealisasikan kenyataan di atas, khalifah menyuruh atau mengintruksikan kepada
gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm untuk mengumpulkan
hadis yang ada padanya dan pada tabi’in muncul kodifikator wanita, ‘Amrah binti
‘Abdurrahman, seorang ahli fiqh murid ‘Aishah.[8]
Sebetulnya,
kodifikasi (penulisan dan pengumpulan) hadis telah dilakukan sejak jaman para
sahabat. Namun, hanya beberapa orang saja diantara mereka yang menuliskan dan
menyampaikan hadis dari apa yang mereka tulis. Disebutkan dalam shahih
al-Bukhari, di Kitab al-Ilmu, bahwa Abdullah bin ‘Amr biasa menulis hadis. Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang pun
dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih banyak
hadisnya dari aku kecuali Abdullah bin ‘Amr, karena ia biasa menulis sementara
aku tidak.”
Namun,
kebanyakan mereka hanya cukup mengandalkan kekuatan hapalan yang mereka miliki.
Hal itu diantara sebabnya adalah karena di awal-awal Islam Rasulullah sempat
melarang penulisan hadis karena khawatir tercampur dengan Al-Qur`an. Dari Abu
Sa’id al-Khudri, Bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah menulis dariku! Barangsiapa menulis
dariku selain Al-Quran, maka hapuslah. Sampaikanlah dariku dan tidak perlu
segan..” (HR Muslim).
C.
Hadis pada Masa Tabi’in
1. Urgensi dan Seleksi Hadits
Dalam
Islam, hadits adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, sebagai pendamping
al-Qur’an dalam peran menjadi pedoman hidup manusia. Sehingga, apabila di dalam
al-Quran tidak ditemukan maka harus merujuk kepada hadits Nabi.
Hadits
berfungsi juga sebagai penjelas al-Qur’an, berkenaan dengan ayat-ayat al-Qur’an
yang bersifat mujmal atau global. Sehingga hadits lah yang
menjelaskan makna umum tersebut secara terperinci dan mudah difahami oleh
umat Islam.
Hal-hal
di atas menjadi alasan mengapa hadits merupakan hal urgen untuk dipelajari oleh
kaum muslim. Di samping kebutuhan kita, mempelajari hadits sangat diperlukan
dalam rangka menjaga orisinilitas hadits karena fenomena pemalsuan salah satu
wahyu dari Allah tersebut.
Dengan
menggunakan berbagai macam ilmu hadits, maka timbullah berbagai macam nama
hadits, yang disepakati oleh para ulama. Munculnya upaya seleksi hadits untuk
menyempurnakan pengembangan hadits.
Pada
masa seleksi hadits, para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan
hadits yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama
pada masa ini berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dari
yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti pada
sahabat) dan yang maqthu’ (terputus) dari yang marfu’ (sanadnya
sampai ke Nabi Muhammad SAW), meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih
ditemukan terselipnya hadits yang dhaif pada kitab shahih karya
mereka.[9]
2. Metode Pencarian Hadist pada Masa Tabi’in
Periwayatan hadits semakin pesat
pada masa tabi’in dengan berkembangnya gerakan rihlah ilmiah, yaitu
pengembaraan ilmiah yang dilakukan para muhaditsin dari satu kota ke kota lain.
Tidak lain kota-kota tersebut merupakan pusat pembinaan dalam periwayatan
hadits, yang tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah. Mereka
melakukan itu untuk mengetahui hadits-hadits Nabi saw. dari sahabat yang masih
hidup dan tersebar di berbagai kota. Pencarian hadits ini dilakukan oleh mereka
hanya untuk membuktikan keaslian suatu hadits. Usaha mereka ini menimbulkan
suatu kajian hadits yang kemudian berkembang menjadi ulumul hadits.[10]
Karena luasnya wilayah Islam dan
kepentingan golongan, memicu munculnya hadits-hadits palsu meskipun pembukuan
tatacara periwayatan telah ditetapkan. Pemalsuan hadits mencapai puncaknya pada
periode ketiga, yakni pada masa kekhalifahan Daulah Umayyah.[11]
3. Pembukuan Hadis Pada Masa Tabi’in
Para tabi’in menerima ilmu dari para sahabat. Mereka
bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari mereka, menerima banyak hadist
Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan para sahabat melarang serta
membolehkan penulisan hadist.
Para Tabi’in senantiasa meneladani para sahabat.
Mereka, para sahabat, adalah generasi pertama yang memelihara Al-Qura’an dan
As-Sunnah. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para sahabat sependapat tentang
masalah pembukuan hadits.[12]
Faktor-faktor yang mendorong Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat menolak
penulisan hadis juga adalah faktor yang mendorong tabi’in bersikap sama. Mereka
memiliki satu sikap. Mereka menolak penulisan hadis selama sebab-sebabnya ada.
Sebaliknya, jika sebab-seba tersebut tidak ada, mereka sepakat tentang
kebolehan menuliskan hadis. Bahkan, kebanyakan dari
mereka mendorong dan menumbuhkan sikap berani membukukan hadis.
4. Tokoh – tokoh Hadits di Masa Tabi’in
Di kala kendali khalifah di pegang oleh
Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99 H, dari dinasti Umayyah. Sebagai Amirul
Mukminin ia tidak jauh dari ulama, ia menulis sebagian hadis serta memotivasi
para ulama agar mereka berani melakukan hal yang sama. Hal yang mendorongnya
adalah aktivitas para tabi’in ketika itu dan sikap mereka membolehkan ketika
tidak ada lagi sebab-sebab untuk melarangnya. Ia melakukan upaya-upaya pemeliharaan
hadis karena khawatir hadis akan hilang. Sebab lain yang berpengaruh terhadap
jiwa para ulama, yaitu munculnya praktek pemalsuan hadis yang dilatar belakangi
oleh persaingan politik dan perselisihan antar aliran Pemerintahan di bawah
kepemimpinan umar bin Abdul Aziz mengambil langkah tepat dengan memprakarsai
penghimpunan hadis secara resmi. Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkirim surat
keseluruh wilayah Islam .[13]
Dan ada beberapa orang yang
meriwayatkan hadits cukup banyak, antara lain Abu Hurairah (5374 buah),
Abdullah bin Abbas (1660 buah), Jabir Ibn abdillah (1540 buah), Abu Sa’id Al
Khudri (1170 buah), Abdullah bin Umar (2630 buah), Anas ibn Malik, dan
Aisyah (2276 buah).
Nama-nama tokoh hadits dari kalangan
tabi’in di wilayah Madinah, seperti Sa’id Ibn Al Musyayyab, ‘Urwah ibn Zubair,
Ibn Syihab Al Zuhri, Ubaidullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud dan Salim bin Abdillah
ibn Umar dan masih banyak lagi tokoh-tokoh hadits dari kalangan tabi’in yang
berasal dari berbagai wilayah di Daulah Islamiyah.[14]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Masa Nabi saw. dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwin, yaitu
masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih
banyak hadis-hadis Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang
tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat menyadari betapa
penting kedudukan hadis Nabi dalam agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan
pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkari akan
celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.
Cara
penyampaian hadis pada masa Nabi: Pertama, pusat atau tempat pengajian
yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah. Kedua, dalam banyak
kesempatan Rasulullah juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu,
yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Ketiga,
untuk hal-hal sensitif. Seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan
kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi
menyampaikan melalui istri-istrinya. Seperti Nabi menjelaskan tentang seorang
wanita yang bertanya kepada Nabi saw., tentang mandi bagi wanita yang telah
suci dari haidnya. Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat
terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Kelima, melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan
musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu
tersebar di kalangan umat Islam.
Setelah para
sahabat mulai pandai tulis menulis, dan dapat membedakan antara firman Allah
dengan sabda Nabi, maka gerakan penulisan begitu marak, sehingga pada akhirnya
Nabi berwasiat: saya tinggalkan dua tumpukan tulisan ini, yakni tumpukan
tulisan Al-Qur’an dan tumpukan tulisan hadist. Sekali lagi, pada wilayah
kodifikasinya secara resmi yang berbeda. Apabila kodifikasi berupa mushaf,
memang baru terjadi pada khalifah Abu Bakar, namun kodifikasi hadits yang resmi
menurut pendapat yang masyhur terjadi pada masa
khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Para tabi’in menerima ilmu dari para sahabat. Mereka
bergaul dekat, mengetahui segala sesuatu dari mereka, menerima banyak hadist
Rasulullah dari mereka, dan mengetahui kapan para sahabat melarang serta
membolehkan penulisan hadist. Para Tabi’in senantiasa meneladani para sahabat.
Mereka, para sahabat, adalah generasi pertama yang memelihara al-Qura’an dan as-Sunnah. Maka, pada umumnya, para tabi’in dan para
sahabat sependapat tentang masalah pembukuan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Zarkasih. 2012.
Pengatar Studi Hadits. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.
Ø Nuruddin. 1996.
‘Ulum Al-Hadis 1. Bandung. PT Remaja Rose Karya.
Ø Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2012. Studi Hadits. Suranaya: IAIN Sunan
Ampel Press.
Ø Suparta, Munzier, 2010, Ilmu Hadits,
Jakarta : Rajawali Pers
Ø Solahudin, Agus, 2008, Ulumul Hadits,
Bandung: Pustaka Setia
Ø Al-Khatib,
Muhammad Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut: Darul Fikr Cet. V Th.
1401 H-1981 M.
[1] Zarkasih, Pengatar Studi Hadits, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2012), hlm. 21
[2] Zarkasih, Pengatar Studi Hadits, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2012), hlm. 22
[3] ibid, hlm. 23
[4] Zarkasih, Pengatar Studi Hadits, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2012), hlm. 24
[5] Zarkasih, Pengatar Studi Hadits, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo,
2012), hlm. 26
[6] Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, (Suranaya: IAIN
Sunan Ampel Press, 2012), hlm. 90
[11] http://danguna.blogspot.com/2010/04/ringkasan-studi-hadits.html. Diakses pada tanggal
7 September 2013.
[12] Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah Qablat-Tadwin, Beirut:
Darul Fikr Cet. V Th. 1401-1981 M. Hlm. 363
[13] Al-Khatib, Muhammad Ajaj, As-Sunnah
Qablat-Tadwin, (Beirut: Darul Fikr Cet. V Th. 1401-1981 M), hlm. 369
Surya
Out too the been like hard off. Improve enquire welcome own beloved matters her. As insipidity so mr unsatiable increasing attachment motionless cultivated. Addition mr husbands unpacked occasion he.
0 komentar:
Post a Comment