+10 344 123 64 77

Thursday, November 27, 2014

PENGEMBANGAN KURIKULUM


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan penidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan “menentukan” model manusia yang akan dihasilkannya.
            Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan hasil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum didalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil  dan penilitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang akan “ambruk” adalah
manusianya.
            Ada beberapa landasan dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis, psikologis, landasan sosiologis serta landasan teknologi.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud landasan filosofis?
b.      Apa yang dimaksud landasan psikologis?
c.       Apa yang dimaksud landasan sosial?
d.      Apa yang dimaksud landasan teknologi?
C.     Tujuan
a.       Untuk mengetahui apa itu landasan filosofis.
b.      Untuk mengetahui apa itu landasan psikologis
c.       Untuk mengetahui apa itu landasan sosial
d.      Untuk mengetahui apa itu landasan teknolog
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Didalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.[1]
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam.  Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komperehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia didalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam pengalaman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada ini sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengeetahui kedudukan manusia didalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu.[2]
Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk maslah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pendidikan. Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap peraktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu.  
1)      Philosophy is primary and basic to an educational philosophy, 2) philoshopy is the flower not root of education, 3) educational philoshopy is an independent disciplain which might benefit from contact whit general philoshopy, but this contact is not essential, 4) philoshopy and the theory of education is one (Butler,1957:12).
Pendapat para fisuf umumnya  memandang filsafat umum sebagai dasar dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan yang hamper sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang berbeda.
      Dalam tulisan ini akan dikemu kakan salah satu pandangan tentang filsafat pendidikan, yaitu pandangan dari John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui oleh penulis.
1.     Dasar-dasar filsafat Dewey
Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membawa konsekuensi yang cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Ciri lain filsafat Dewey adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia adalah monistik dan tidak lebih dari sebuah hipotesis.
            Filsafat Dewey lebih terkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadian-kejadian nyata. Dalam filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making, yaitu adanya persesuian antara hipotesis dengan kenyataan.[3]
            Dewey sangat menghargai peranan pengalaman,  merupakan dasar bagi pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only basis for knowledge and wisdom (Dewey,1964,hlm.101). pengalaman itu mencakup segala aspek kegiatan manusia, baik yang berbentuk aktif maupun yang pasif. Mengetaui tanpa mengalami adalah omong kosong. Dewey menolak sesuatau yang bersifat spekualatif.
            Pengertian pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainya, yang mengartikannya sebagai pengalaman melalui penginraan. Nilai-nilai adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu berrnilai karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai.
            All values are subjective and either intrinsic or instrumental…. Values being finnaly intrinsic, and feeling, it is held, being unmeasurable, no scale of values, and of any two things felt as intrinsically valuable it is than another. To be felt as worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of value. (Dewey dalam joe park, (ed). 1958, hal 185).
            Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self bagi Dewey adalah sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dan lingkungan. Self realization hanya hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan yang lain.


2.     Teori pendidikan Dewey
Apakah pendidikan menurut Jhon Dewey? Pendidikan berarti perkembangan, perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi pendidikan itu juga berarti sebagai kehidupan. Bagi Dewey, Education is growth, development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan diluar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, rekonstuksi, dan pengubahan pengalaman hidup. Jadi pendidikan itu merupakan oraganisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.[4]   
Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu ditunjukan untuk mencapai tujuan. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak, masa pemuda, dan dewasa, semuanya merupakan fase pendidikan, semua yang dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman. Pendidikan itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan keharusan individu meneruskan perkembangannya.
Jhon Dewey menegaskan bahwa pendidikan itu tidak mempunyai tujuan, hanya orang tua, guru, dan masyarakat yang mempunyai tujuan. And it is well remaind ourselves that education as such has no aims. Only persons, parents, and teacher etc, have aims, not an abstract idea like education. (Jhon Dewey, 1964, hal 177). [5]
Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajar terjadi pada anak, baiklah kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity), yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif, tetapi positif, kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. Ini menunjukan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat. Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu yang harus mereka lakukan sendiri.

B.   Landasan Psikologis
Psikologi adalah landasan penting yang harus diperhitungkan dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Dalam proses pendidikan selalu terjadi interaksi antara manusia yakni interaksi antara anak didik dengan pendidik serta anak didik dengan manusia-manusia lainnya. Hal ini terjadi sebab manusia itu mempunyai aspek psikologis yang jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kondisi psikologis manusia dapat menjadi lebih maju banyak memiliki kecakapan, keterampilan dan sebagainya (hamid syarif, 1996:43).[6]
Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk prilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Prilaku-prilaku tersebut merupakan manifestasi dari cirri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, prilaku kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kondisi psikologis setiap inividu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor-faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu diantara individu-individu yang lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik maupun kondisi pendidiknya. Interaksi pendidikan dirumah berbeda dengan disekolah. Interaksi dengan anak dan guru pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas.[7]
Jadi minimal ada dua bidang psikologis yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik didalam merumuskan tujuan,memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
1.      Psikologi Perkembangan 
Psikologi perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa kanak-kanak hingga dewasa.
Anak menduduki peranan sentral dalam penyusunan kurikulum, sebab pada dasarnya sekolah dan kurikulum dipersiapkan untuk kepentingan anak dalam proses menuju kedewasaan dan kematangannya. Pengetahuan tentang anak mutlak diperlukan karena dari situlah akan diketahui minat dan kebutuhannya sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya. Kurikulum yang disusun harus didasarkan pada tingkat perkembangan minat demi kebutuhan anak tersebut (Burhan Nugiyantoro, 1988:16).
Pertumbuhan dan perkembangan anak didik dapat dibagi menjadi beberapa periode (hamid syarif, 1996:44) secara didaktis periodesasi itu dapat dikelompokkan menjadi:[8]

·         Periode taman kanak-kanak (umur 3-6 tahun)
Pendidikan di taman kanak-kanak menitik beratkan pada penanaman kebiasaan sebab pada usia taman kanak-kanak tersebut mudah diberi latihan-latihan (dresser).
·         Periode pendidikan dasar (umur 6-12 tahun)
Tugas pendidikan pada umur ini harus lebih memperhatikan keseluruhan perkembangan anak seperti : fisik, intelektual, emosi, sosial, dan susila.[9]
·         Periode pendidikan menengah (umur 13-18)
Pada masa ini perkembangan remaja baik fisik, intelektual, emosi, sosial dan susila hampir mendekati kesempurnaan. Oleh karena itu kurikulum sebagai program pendidikan yang akan disajikan kepada remaja, perlu memasukkan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang bertujuan mempersiapkan anak didik mampu meneruskan pengetahuannya ke tingkat lebih tinggi dan mempersiapkan anak didik agar mempunyai bekal pengalaman yang sanggup dijadikan pijakan untuk memasuki lapangan kerja bagi anak yang tidak meneruskan belajarnya diperguruan tinggi.[10]
·         Periode pendidikan tinggi (umur 19- ke atas)
2.      Psikologi Belajar
Psikologi belajar atau ilmu jiwa belajar adalah pengetahuan tentang bagaimana proses belajar itu berlangsung dalam diri seseorang. Teori tentang proses belajar akan mempengaruhi penyususunan dan penyajian kurikulum secara efektif, disamping juga menentukan pemilihan bahan pengajaran yang harus disajikan.
Teori belajar dikelompokkandalam tiga macam, yaitu:
·         Teori belajar ilmu daya atau teori disiplin mental
Teori belajar ini menganggap, jiwa manusia terdiri atas sejumlah daya. Belajar pada dasarnya melatih daya-daya mental tersebut, seperti daya berpikir. Dalam pengembangan kurikulum, teori belajar ini sangat menjunjung tinggi mata pelajaran. Karena dianggap bermanfaat dapat melatih daya-daya otak. Dengan demikian, perlu banyak disajikan bahan-bahan pelajaran yang berguna melatih daya-daya, terutama daya berfikir.[11]
·         Teori belajar behavioristik
Teori belajar ini meliputi teori asosiasi atau koneksionisme dengan tokohnya Edward L. Thorndike, conditioning dengan tokohnya Watson dan reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull.
Teori belajar koneksionisme menyatakan bahwa tingkah laku manusia itu merupakan respon terhadap stimuli tertentu. Pengembangan kurikulum yang mendasarkan pada teori asosiasi berisikan pelajaran yang dipecah ke dalam unit-unit kecil, setiap unit disusun dalam bentuk latihan untuk membentuk ikatan-ikatan stimulus respon, sedang proses belajarnya dapat dilakukan dengan mekanis.
Teori conditioning lebih mementingkan pembiasan dan latihan secara terus menerus, sehingga menghasilkan kebiasaan tertentu. Teori reinforcement lebih menekankan faktor hadiah (reward) dalam belajar sebab hadiah menjadi penguat terhadap ikatan stimulus-respon.
Dalam pengembangan kurikulum yang mendasarkan teori diatas, disamping  bahan pelajaran dan proses belajar juga perlu memperhatikan adanya reinforcement.
·         Teori gestalt
Teori gestalt dinamakan juga cognitive gestalt field. Dalam pengembangan kurikulum, teori gestalt lebih menekankan pada bahan-bahan yang berhubungan dengan berpikir analitis melalui pemecahan masalah (problem solving).

C.   Landasan Sosial
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut dimasyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendiikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan sgala karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.[12]
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
Ada tiga sifat penting pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Hal ini disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina dan mengembangkan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi menyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan-kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai karyawan. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat, penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-lain.[13]
Konsep pendidikan bersifat universal, tetapi pelaksanaan pendidikan bersifat lokal, disesuaikandengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pendidikan dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu berbeda dengan lingkungan masyarakat lain, karena adanya perbedaan sistem sosial-budaya, lingkungan alam, serta sarana dan prasarana yang ada.
 Karena anak hidup dalam masyarakat, maka anak pun harus dipersiapkan untuk terjun di masyarakat dengan dibekali kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Anak perlu dibekali dengan norma-norma, nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan keadaan dan pandangan masyarakat. Karena masyarakat menginginkan agar pandangan hidup, nilai-nilai (atau ajaran filsafat) yang diyakininya tetap terpelihara dengan aman.[14]


D.   Landasan Teknologi
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
Telah dibicarakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi membawa beberapa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat terpencil, yang tertutup dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas, berubah menjadi masyarakat yang terbukadan cukup berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang pada mulanya hanya konsumtif terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan banyak perubahan dalam nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, spiritual, intelektual, maupun material. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan baru, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan. Pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agarmampu hidup pada masa kini dan yang akan datang.[15]
Perkembangan ilmu dan teknologi secara langsung maupun tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan ilmu dan teknologi adalah memberikan isi/materi atau bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problema-problema baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan baru yang dikembangkan dalam pendidikan.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
1.      Landasan Filosofis
Pendidikan berintikan interaksi antar manusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Didalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut, merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis.
Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti “cinta akan kebijakan” (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam.  Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar).
2.     Landasan Psikologis
Psikologi adalah landasan penting yang harus diperhitungkan dalam kegiatan pengembangan kurikulum sekolah. Dalam proses pendidikan selalu terjadi interaksi antara manusia yakni interaksi antara anak didik dengan pendidik serta anak didik dengan manusia-manusia lainnya. Hal ini terjadi sebab manusia itu mempunyai aspek psikologis yang jauh lebih tinggi tarafnya dan lebih kompleks dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kondisi psikologis manusia dapat menjadi lebih maju banyak memiliki kecakapan, keterampilan dan sebagainya (hamid syarif, 1996:43).
3.      Landasan Sosial
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut dimasyarakat.
4.      Landasan Teknologi
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

 
DAFTAR PUSTAKA

Syaodih Nana, Prof. Dr. 2012. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. Bandung: PT.     Remaja Rosdakarya.
Modlofir Ali, Dr. M,Ag. 2009. Pengembangan Kurikulum dan Bahan Ajar. Surabaya: PT. Revka Petra Media.
Nurgiyantoro Burhan. 1988. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah. Yogyakarta: BPFE


[1] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek, (Bandung:2012), hal 38-39
[2] Ibid, hal 39
[3] Ibid, hal 40
[4] Ibid, hal 41
[5] Ibid, hal 42
[6] Ali mudlofir, pengembangan kurikulum dan bahan ajar, (Surabaya:2009), hal 40
[7] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek, (Bandung:2012), hal 45
[8] Ali mudlofir, pengembangan kurikulum dan bahan ajar, (Surabaya:2009), hal 41
[9] Ibid, hal 42
[10] Ibid, hal 43-44
[11] Ibid, hal 44
[12] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek, (Bandung:2012), hal 58
[13] Ibid, hal 58-59
[14] Burhan, Dasar-dasar pengembangan kurikulum sekolah, (Yogyakarta:1988), hal 19
[15] Nana syaodih, pengembangan kurikulum teori dan praktek, (Bandung:2012), hal 77-78

0 komentar:

Post a Comment