BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
Hadis
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari
Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam ajaran Islam.
Hadis dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an. Dalam hal ini
kedudukan hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Islam
sebagai agama yang sempurna yang mengatur disegala aspek kehidupan seorang anak
manusia. Selain Al-Qur’an, umat Islam juga memiliki tuntunan lain sebagai
pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia ini, yaitu As-Sunnah (ucapan,
perbuatan dan sikap) yang telah diteladani oleh Rasulullah SAW.
Berangkat
penjelasan di atas, maka sangatlah penting bagi umat Islam untuk memahami dan
mempelajari hadis (As-Sunnah) agar dapat menentukan mana hadis yang dapat
menjadi landasan hukum dalam berbagai persoalan yang dihadapi umat manusia.
B.
Rumusan Masalah.
1.
Bagaimanakah hadis tentang
manisnya iman?
2.
Bagaimanakah hadis tentang
dasar-dasar Islam?
3.
Bagaimanakah hadis tentang birrul
walidain?
4.
Bagaimanakah hadis tentang
berbuat baik dengan tetangga?
C.
Tujuan.
1.
Untuk mengetahui Bagaimanakah
hadis tentang manisnya iman?
2.
Untuk mengetahui hadis tentang dasar-dasar
Islam?
3.
Untuk mengetahui Bagaimanakah
hadis tentang birrul walidain?
4.
Untuk mengetahui Bagaimanakah
hadis tentang berbuat baik dengan tetangga?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Tentang Manisnya Imam.
وعن انس عن النبي صم
قال: ثلاث من كن فيه وجد بهن حلاوة الايمان : ان يكون الله ورسوله احب اليه مما
سواهما, وان يحب المرء لايحبه الا لله, وان يكره ان يعود في الكفر بعد ان انقده
الله منه كما يكره ان يكره ان يقدف في النار. (متفق عليه)
Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka."
Dari penjelasan hadist di atas dapat disimpulkan adaTiga tanda manisnya
Iman. Sebagaimana hadis Nabi, antara lain
yaitu :
Pertama, golongan yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi
kecintaannya kepada apapun juga.
Kedua, golongan yang bila mencintai atau menyukai seseorang hanya atas
dasar karena dia cinta kepada Allah Swt.
Ketiga, golongan yang sangat membenci pada kekafiran.
Berikut ini penjelasan tentang hadist manisnya iman.
قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia
akan merasakan manisnya iman
Dalam
hadits ini dipakai istilahحَلاَوَةُ الإِيمَانِ (manisnya
iman). Dalam ilmu balaghah, istilah seperti ini disebut isti'arah takhyiliyyah,
yaitu majaz (kiasan) yang dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi.
Semacam majas metafora dalam bahasa Indonesia. Bahwa iman itu terasa manis.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya "sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam penggalan hadist berikutnya.
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya "sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam penggalan hadist berikutnya.
Manisnya
iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ)
juga mengingatkan kita ibarat pohon, iman itu memiliki buah manisnya bisa
dirasakan oleh seorang mukmin. Tentu saja pohon baru bisa berbuah ketika
akarnya teguh dan pohonnya kuat. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap
orang.
Sebagian
ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ)
merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam
menggapai ridha Allah, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia,
dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya
dan menjauhi larangan-Nya.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
Menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya
Inilah hal
pertama yang membuahkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-melebihi
selainnya. Seorang mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan
Rasul-Nya, baru ia mendapati manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya.
Manusia akan merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman melalui lisannya: "ahad, ahad..."
Manusia akan merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman melalui lisannya: "ahad, ahad..."
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ
إِلاَّ لِلَّهِ
Dan mencintai
seseorang semata-mata karena Allah
Jika
kecintaannya kepada Allah adalah yang pertama dan tidak boleh terkalahkan oleh
selainnya, demikian pula Rasulullah sebagai yang paling dicintai, bukan berarti
kita diperkenankan mencintai sesama. Cinta itu fitrah. Maka mencintai kedua
orang tua, anak, saudara,sahabat, dan sesama mukmin juga dibutuhkan. Dan
tatkala cinta itu karena Allah semata, maka iman akan manisnya iman dapat
dirasakan.
Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses
dalam membina cinta karena Allah ini. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan
Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di bawah satu bendera: Ansar.
Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang
belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta
menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam
perjuangan bersama. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ
كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika
dilempar ke dalam api neraka
Dalam riwayat
Muslim, redaksi hadits tentang manisnya iman (حَلاَوَةُ
الإِيمَانِ) ini pada poin ketiga berbunyi :
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ
بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah,
sebagaimana kebenciannya dilempar ke dalam api neraka.
Dan itulah yang, lagi-lagi, kita dapati pada generasi
sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid Quthb memotret tiga karakter sahabat yang
menjadi faktor utama keberhasilan mereka, salah satunya ia catat: "Saat
mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh
kejahiliyahan"
Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Maka Rasulullah mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj seperti perang bu'ats. Rasulullah juga pernah mengingatkan Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan. "Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah" tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal.
Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Maka Rasulullah mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj seperti perang bu'ats. Rasulullah juga pernah mengingatkan Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan. "Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah" tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal.
B. Hadis Tentang Dasar-Dasar Islam.
Hadits
Ketiga belas; dari
Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anhu,
dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّيْ
رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ
بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ.
‘Tidaklah halal darah
seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain
Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali disebabkan oleh satu dari tiga
sebab: orang muhsan (yang pernah menikah secara sah) yang berzina, dihukum
bunuh (qishash) karena membunuh, dan orang yang meninggalkan agamanya yang
memisahkan diri dari jamaah’.”
Kami meriwayatkannya
dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
ad-Diyyat, Bab Qauluhu Shallallahu ‘alaihi wasallam : Inna
an-Nafsa bi an-Nafsi, 12/201, no. 6878; dan Shahih Muslim, Kitab al-Qasamah, Bab Ma Yubahu bihi Dam al-Muslim, 3/1302,
no. 1676.
Hadits
Keempat belas; dari
Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ.
فَإِذَا فَعَلُوْا ذلِكَ، عَصَمُوْا مِنِّيْ دِمَاءَ هُمْ وَأَمْوَالَهُمْ، إِلاَّ
بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ.
“Saya diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah
selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan shalat, dan
membayar zakat. Apabila mereka telah mengerjakan hal tersebut maka mereka telah
melindungi dariku darah dan harta mereka; kecuali dengan yang haq dalam Islam,
dan hisab amal mereka tergantung kepada Allah.“
Kami meriwayatkannya
dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Iman, Bab (Fa`in Tabu wa Aqamu ash-Shalah), 1/75, no. 25; dan Shahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab al-Amru bi
Qital an-Nas, 1/53, no. 22.
Hadits
Kelima belas;
dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu,
dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
بُنِيَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ،
وَالْحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
‘Islam itu didirikan di
atas lima perkara: Kesaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar
zakat, menunaikan Haji dan berpuasa di Bulan Ramadhan’.“
Kami meriwayatkannya
dalam Shahih al-Bukhari, Kitab
al-Iman, Bab Du’a`ukum Imanukum, 1/49, no. 8 danShahih Muslim, Kitab al-Iman, Bab Arkan
al-Islam wa Du’a`uhu, 1/45, no. 16.
Hadits
Keenam belas;
dari Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ
يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ، لاَدَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَ
هُمْ، لكِنِ اْلبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِيْ وَالْيَمِيْنُ عَلَى مَنْ أَنْكَرَ.
“Seandainya (setiap)
klaim seseorang dikabulkan, niscaya banyak orang akan mengklaim harta suatu
kaum dan darah mereka, akan tetapi bukti diwajibkan bagi penuntut, sedangkan
sumpah diwajibkan bagi orang yang mengingkari (bukti itu)’.“
Shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Kitab at-Tafsir, Ali Imran, (Innalladzina Yasytaruna bi
‘Ahdillah),8/213, no. 4552; dan Muslim, Kitab al-Aqdhiyah, Bab
al-Yamin ala al-Mudda’a alaih, 3/1336, no. 1711, tanpa kalimatal-Bayyinah
ala al-Mudda’i. Dan diriwayatkan oleh al-Baihaqi 10/352, dari beberapa
jalur, dari Ibnu Abi Mulaikah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam, dengan tambahan, dan Ibnu ash-Shalah, Ibnu Rajab dan
al-Asqalani menghasankannya. Saya berkata, “Mereka hanya menghasankan hadits
tersebut dengan tambahan yang ada, karena tidak diriwayatkannya tambahan tersebut
oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan apabila tidak demikian, dia memiliki sanad
shahih lebih dari satu berdasarkan syarat keduanya.
Ia hasan dengan lafazh
ini, dan sebagiannya terdapat dalam ash-Shahihain.
Hadits Ketujuh belas; dari
Wabishah bin Ma’bad radiyallahu
‘anhu, bahwasanya dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
فَقَالَ:
جِئْتَ تَسْأَلُ عَنِ اْلبِرِّ وَاْلإِثْمِ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَقَالَ: اسْتَفْتِ
قَلْبَكَ، الْبِرُّ مَا اطْمَأَنَّتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ
اْلقَلْبُ. وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي النَّفْسِ وَتَرَدَّدَ فِي الصَّدْرِ،
وَإِنْ أَفْتَاكَ النَّاسُ وَأَفْتَوْكَ.
“Beliau bertanya,
‘(Apakah) kamu datang untuk bertanya tentang kebaikan dan dosa?’ Dia menjawab,
‘Ya’ Beliau bersabda, ‘Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah sesuatu
yang membuat dirimu tenang kepadanya, dan hatimu tentram kepadanya, sedangkan
dosa adalah apa yang menimbulkan ragu di jiwamu dan membuat ragu (hati) dalam
dadamu, walaupun manusia memberi fatwa kepadamu atau mereka (semua) memberi
fatwa kepadamu’..
C. Hadis Tentang Birrul Walidain.
Istilah Birrul
Walidain terdiri dari kata Birru dan al-Walidain. Birru
atau al-birru artinya kebajikan dan al-walidain artinya kedua
orang tua atau ibu bapak. Jadi, Birrul Walidain adalah berbuat kebajikan
terhadap kedua orang tua.
Islam
telah mengajarkan kepada kita agar berbakti kepada orang tua, mengingat banyak
dan besarnya pengorbanan serta kebaikan orang tua terhadap anak, yaitu
memelihara dan mendidik kita dejak kecil tanpa perhitungan biaya yang sudah
dikeluarkan dan tidak mengharapkan balasan sedikit pun dari anak, meskipun anak
sudah mandiri dan bercukupan tetapi orang tua tetap memperlihatkan kasih
sayangnya, oleh karena itu seorang anak memiliki macam-macam kewajiban terhadap
orang tuanya menempati urutan kedua setelah Allah Swt, dan kita juga dilarang
durhaka kepada orang tua. Dalam makalah ini, pemakalah akan memaparkan tentang
birrul walidain dan ‘uququl walidain.
·
Berikut beberapa hadist tentang hadist tentang birrul walidain,
عَنْ عَبْدُ الله بن عَمْرٍو رضي الله
عنهما قال قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: رِضَى اللهُ فى رِضَى الوَالِدَيْنِ
و سَخَطُ الله فى سَخَطُ الوَالِدَيْنِ ( اخرجه الترمذي وصححه ابن حبان والحاكم)
Artinya: dari Abdullah bin ‘Amrin
bin Ash r.a. ia berkata, Nabi SAW telah bersabda: “ Keridhoaan Allah itu
terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka
orang tua”. ( H.R.A t-Tirmidzi. Hadis ini dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dan
Al-Hakim)[1][1]
عَنْ اَبِي هُرَيرَةَ رضي الله عنه
قال جَاءَ رَجُلٌ الى رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال يَا رسولَ الله مَنْ
اَحَقًّ النّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قال: اُمُّك قال: ثُمَّ مَنْ؟ قال: ثُمَّ
اُمُّك قال: ثم من؟ قال :ثم امُّك قال: ثم من؟ قال : ثم اَبُوْكَ (اخرجه البخاري)
Artinya: dari Abu Hurairah r.a. ia
berkata: “ Suatu saat ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW, lalu
bertanya: “ Wahai Rasulullah, siapakah yang berhak aku pergauli dengan baik?”
Rasulullah menjawab : “ Ibumu!”, lalu siapa? Rasulullah menjawab: “ Ibumu!”,
lalu siapa? Rasulullah menjawab: “Ibumu!”. Sekali lagi orang itu bertanya:
kemudian siapa? Rasulullah menjawab: “ Bapakmu!”(H.R.Bukhari).[1][2]
عَبْدُ الله بن مَسْعُودٍ قال سَاَ
لْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم ايُّ الْعَمَلِ اَحَبُّ الى الله قال:
الصَّلَاةُ على وَقْتِهَا قال: ثم اي قال:ثُمَّ بِرُّ الْوَالْدَيْنِ قال: ثم اي
قال: الجِهَادُ فى سَبِيْلِ الله ( اخرجه البخاري و مسلم)
Artinya: “ dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: “ Saya
bertanya kepada Nabi saw: amal apakah yang paling disukai oleh Allah Ta’ala?”
beliau menjawab: “ shalat pada waktunya. “ saya bertanya lagi: “ kemudian apa?”
beliau menjawab: “ berbuat baik kepada kedua orang tua. “ saya bertanya lagi: “
kemudian apa?” beliau menjawab: “ berjihad(berjuang) di jalan Allah.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).[1][3]
عن المغيرة بن شعبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : ان الله
حرم عليكم عقوق الامهات ووأد البنات ومنع وهات وكره لكم قيل وقال وكثرة السؤال
واضاعة المال (اخرجه البخاري)
Artinya: dari Al-Mughirah bin
Syu’ban r.a. ia berkata, Nabi Saw telah bersabda: “ Sungguh Allah ta’ala
mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, menolak kewajiban, meminta yang bukan
haknya dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga membenci orang yang
banyak bicara, banyak pertanyaan dan menyia-nyiakan harta.” (H.R.Bukhari).[1][4]
عن عبد الله بن عمر ورضى الله عنهما
قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان من اكبر الكبا ئر ان يلعن الر جل
والديه . قيل رسول الله.و كيف يلعن لر جل والديه ؟ قا ل: يسب الرجل ابا لرجل فيسب
أبا لرجل فيسب أبا ه و يسب ( أخر جه امام بخاري)
Artinya: “ dari Abdullah bin ‘amr bin al-ash ia berkata,
Rasulullah Saw telah bersabda: “ diantara dosa-dosa besar yaitu seseorang
memaki kedua orang tuanya. “ para sahabat bertanya: “ Wahai Rasulullah, apakah
ada seseorang yang memaki kedua orang tuanya?” Beliau menjawab: “ Ya, apabila
seseorang memaki ayah orang lain, kemudian orang itu membalas memaki ayahnya
kemudian ia memaki ibu orang lain, dan orang itu memaki ibunya. (H.R. Bukhari).[1][5]
D. Hadis Tentang Berbuat Baik Dengan
Tetangga.
Dari ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
مَا زَالَ
جِبْرِيلُ يُوصِينِى بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ يُوَرِّثُهُ
Jibril alaihissalam senantiasa (terus-menerus) berpesan kepadaku (untuk
berbuat baik) dengan tetangga,sehingga aku mengira bahwasanya dia akan
memberikan hak waris kepada tetangga.” (HR. Al-Bukhari no.
6014 dan 6015, Muslim no. 6852 dan 6854, dan imam-imam ahli hadits lainnya)
Dan lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendorong ummatnya untuk
berbuat baik kepada tetangga dan memuliakannya, beliau bersabda,
“… وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ”[رواه البخاري ومسلم]
”Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah
dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR.
Riwayat al-Bukhari no. 5673, 5784 dan 6111 dan Muslim kitab al-Iman bab al-Hats
‘ala Ikraamil Jaar wadh Dhaif no. 182) dan dalam riwayat Imam Muslim,
“فليحسن إلى جاره”.
”Maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR
Muslim no. 164 dan 185)
Bahkan syari’at menjadikan mencintai kebaikan
untuk tetangganya sebagai bagian dari keimanan. Nabishallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
” وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ “.
”Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang
hamba beriman sebelum ia mencintai untuk tetangganya apa-apa yang dicintai
untuk dirinya sendiri.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan diantara
syarat-syarat merealisasikan keimanan adalah berbuat baik kepada tetangga. Dan
dalil bahwa yang meremehkan hak tetangganya itu tanda lemah keimanannya.
Dalam hadits: Tidak henti-hentinya Jibril berpesan
kepadaku tentang tetangga seolah-seolah aku mengira bahwa tetangga itu
mendapatkan warisannya. Hal ini menunjukan dalil yang nampak jelas sekali
akan agungnya hak tetangga, sehingga hampir hak tetangga itu seperti hak orang
yang ada dirumahnya yang akan mendapatkan warisannya.
No comments:
Post a Comment