BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dari masa ke masa, permasalahan dan persoalan yang
dihadapi oleh seseorang akan semakin berkembang. Begitu pula masalah yang
dihadapi oleh seorang muslim tentunya juga berkembang dan kompleks. Dan masalah
terkompleks yang dihadapi oleh muslim adalah ketika ia menemukan suatu
permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Oleh karena itu penetapan hukum
terhadap hal-hal yang belum ada ketetapannya, sangat penting dilakukan. Adapun
untuk menetapkan suatu hukum juga dibutuhkan sumber yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan
B. RUMUSAN MASALAH
1. Kapan dimulainya masa sahabat kecil dan
Tabi’in
2. Bagaimana keadaan tasyri’ pada masa sahabat
kecil dan Tabi’in?
3. Apa sajakah sumber-sumber
penetapan hukum pada masa sahabat kecil dan Tabi’in?
C. TUJUAN PENULISAN
Untuk memenuhi tugas UAS semester 1
dan dapat digunakan sebagai pedoman atau pembelajaran bagi seluruh mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya tentang Sumber Hukum Islam Pada Masa Sahabat dan
Tabi’in.
BAB II
PEMBAHASAN
Periode
sahabat kecil dan tabi’in yang menjumpai mereka, dimulai dari pemerintah
Mu’awiyah bin Abu Sufyan tahun 41 H., sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada
kerajaan Arab, yakni pada awal abad ke-2 H. Sedangkan menurut Nur Cholis Majid, bahwa masa
tabi’in adalah masa peralihan dari masa sahabat nabi dan masa tampilnya
imam-imam Madzhab. Adapun yang dimaksud dengan tabi’in adalah kaum muslim
generasi kedua (mereka muslim di tangan para sahabat Nabi).
1. Keadaan Tasyri’ dan Masa Sahabat Tabi’in
Dalam masa ini umat Islam terpecah menjadi tiga
golongan atau kelompok, yaitu penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij), pengikut
setia Ali (Syiah) dan jumhur ulama. Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu
pengetahuan sungguh antusias terbukti dengan banyaknya pembuktian ilmu
pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan
lain-lain. Karena banyaknya sahabat-sahabat yang sudah
wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru dari
orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya, mereka mempunyai
hadits-hadist dan yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar, sebagian
diantaranya : Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad
bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, dalam Musnad
Abu Bakar tertulis 41 halaman sertaMusnad Ali dalam 85
halaman.
Sumber hukum yang dulunya bermula dipandang hanya
dalam tekstual dan bersifat kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase
keemasan lahir para
cendekiawan-cendekiawan
muslim yang mampu memberikan penerangan hukum yang tidak hanya memandang secara
teks saja akan tetapi juga konteks yang sering berkembang dalam dunia Islam.
Selain
terpandang dalam perkembangan pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuannya periode
ini merupakan periode sejarah dimana para jumhur sepakat untuk bersatu atau
yang dikenal sebagai Amul jamaah (tahun persatuan Islam) akan
tetapi kondisi sosial politik juga masih memanas yang pada benih-benih
perselisihan politik yang mengakibatkan perselisihan dan tipudaya terhadap
pemerintah. Kelompok pemberontak ini terbagi menjadi dua kelompok diantaranya :
a) Golongan Khawarij yang sebagian gerakan
politiknya mengancam untuk membunuh raja yangzhalim dan
keluarganya.
b) Golongan
Syi’ah berpendapat bahwa pemerintah merupakan hak Ali dan keluarganya, jadi
setiap orang yang merampas hak itu maka ia adalah zhalim dan
pemerintahannya tidak sah.
2. Faktor
Penyebab Berkembangnya Tasyri’
Adapun
fakto-faktor yang menyebabkan perkembangannya tasyri’ pada masa ini adalah:
a. Bidang Politik
Pada fase ini perkenbangan hukum Islam ditandai dengan
munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya
hukum.
b. Peluasan
Wilayah
Sebagaimana
yang kita ketahui peluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah
(sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode tabi’in mengalami perluasan
wilayah yang sangat pesat dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah
ditaklukan oleh Islam.
c. Perbedaan
Penggunaan Ra’yu
Pada
periode ini para Ulama dalam mengemukakan pemikiran dapat digolongkan menjadi
dua golongan yaitu aliran Hadist yaitu para ulama’ yang dominan menggunakan
riwayat dan sangat “hati-hati” dalam menggunakan ra’yu, kedua
adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan
pemikirannya dengan ra’yu dibandingkan dengan hadist.
d. Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain
telah dibukukannya sumber-sember hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist
sebagai pedoman para Ulama dalam penetapan hukum, para Ulama’pun sudah faham
betul dengan keadaan yang terjadi serta para Ulama’-ulama’ yang dahulu dalam
menghadapi kesulitan-kesulitan seatu peristiwa dapat terpecahkan.
e. Lahirnya Para Cendekiawan-Cendekiawan Muslim
Dengan
lahirnya cendekiawan-cendekiawan Muslim seperti Abi Hanifa, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang
dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam
masyarakat.
f. Kembalinya Penetapan Hukum dan Ahlinya
Berkembangnya
keadaan yang terjadi disekitar membuat banyak permasalahan-permasalahan baru
yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun
hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan yang terjadi
pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.
3. Sumber-Sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil
dan Tabi’in
Sumber-Sumber Tasyri’ yang digunakan pada masa ini
tidak jauh berbeda dengan sumber-sumber hukum yang digunakan pada masa
sebelumnya, yakni masa sahabat besar. Sumber-sumber tasyri’ yang digunakan pada
masa ini ada empat, yaitu:
a. Al-Qur’an
Jumhur Ulama telah sepakat bahwasanya Al-Qur’an
merupakan sumber syara’ yang hakiki. Jadi apabila terjadi suatu peristiwa para
ahli fatwa pada periode ini merujuk padakitabullah, karena kitabullah merupakan
rujukan utama bagi setiap muslim untuk menentukan hukum atau menetapkan hukum.
Oleh karena itu, mereka memperhatikan nash yang merujuk pada hukum yang
dimaksudkan dan memahami nash itu. Pada periode ini ada ada hal yang mempengaruhi
segi pemeliharaannya yakni : penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam
perubahan. Dan usaha yang dilakukan untuk menjaganya yaitu dengan adanya
segolongan umat Islam yang bersungguh-sungguh menghafal Al-Qur’an dan
memperbaiki sistem atau bentuk penulisannya serta pemberian garis dan kharokatnya.
b. As-Sunnah
Dalam penggunan as-sunnah senagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an lebih disepakati oleh jumhur Ulama.
As-Sunnah pulalah yang menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an bagi para sahabat
besar karena tidak ada lagi perbedaan mengenai kehujjahan as-sunnah. Oleh
karena itu pada periode ini sahabat dan tabi’in yang menggunakan as-sunnahsebagai
sumber tasyri’ yang kedua. Jadi apabila yang mereka maksud tidak terdapat dalam
Al-Qur’an/kitabullah, maka mereka akan beralih memperhatikan sunnah
Rasul. Adapun as-sunnah karena banyak periwayatnya pada
periode ini dan terputusnya segolongan ulama tabi’in karena riwayatnya tidak
memperoleh perhatian untuk dibutuhkan, namun tidak dapat diterima oleh akal
kalau keadaan ini berlangsung lama, karena jumhur beranggapan bahwaas-sunah itu
menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-Qur’an. Dan
dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang
pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam Umar bin Abdul Aziz pada
awal abad ke 11 H. ia menulis pada pekerjaannya di Madinah Abu Bakar bin
Muhammad bin Amr bin Hazm:
Lihatlah hadist-hadist Rasulullah SAW, atau sunah
beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya
ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama. (diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’
dari riwayat Muhammad bin Hasan).
c. Ijma’
1) Pengertian Ijma’
Menurut bahasa terbagi dalam dua arti, bermaksud atau
berniat dan kesepakatan terhadap sesuatu. Para ulama Ushul berbeda pendapat
dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya :
a) Pengarang
Kitab fusulul bada’i berpendapat bahwa ijma’ adalah
kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad dalam satu masa setelah beliau
wafat terhadap hukum syara’.
b) Pengarang
kitab Tahrir, al Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’
adalah kesepakatan mujtahid pada suatu masa terhadap masalah syara’.
2) Syarat-syarat
Ijma’
Dari
definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila
memenuhi kriteria di bawah ini :
a) Yang bersepakat adalah para mujtahid
Mujtahid adalah oang yang berakal, baligh, mempunyai
sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.
b) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila
sebagian sepakat dan laainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal
itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ harus mencakup keseluruhan
mujtahid.
c) Para mujtahid harus umat Muhammad
Kesepakatan yang dilakukan oleh selain umat Muhammad
tidak bisa dikatakan ijma’
d) Dilakukan
setelah wafatnya nabi
Ijma’
harus terjadi atau dilakukan pada saat nabi telah wafat.
e) Kesepakatan harus berhubungan dengan syara’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan
yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makhruh, haram
dan lain-lain.
3) Macam-macam ijma’
a) Ijma’ Sharih
Semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka
masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
b) Ijma’
Sukuti
Pendapat
sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui para mujtahid lainnya, tapi
mereka tidak menyepakati atau menolak pendapat tersebut. Ijma’ sukutidikatakan
sah apabila memenuhi syarat :
- Diamnya
mujtahid benar-benar tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
- Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama, yang
bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan bisa dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya.
- Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid
tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan
dalil-dalil yang bersifat dzanni.
4) Kehujjahan Ijma’ menurut pandangan
para ulama.
a) Kehujjahan
Ijma’ Sharih
Jumhur
telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qoth’i,
wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada
suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak
boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadkan.
b) Kehujjahan
ijma’ sukuti
Ijma’
sukuti telah
dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama’. Sebagian mereka tidak
menyatakan ijma’ sukuti sebagai ijma’, bahkan tidak
menganggapnya sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan Syafi’i
yang menyatakan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
d. Qiyas
1) Pengertian Qiyas
Menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang
sejenisnya. Dalam memberi pengertian tentang qiyas terbagi
menjadi dua golongan :
Golongan yang pertama, menyatakan bahwa qiyas adalah
buatan manusia yakni mujtahid. Sebaliknya menurut golongan yang kedua ijma’
merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri
sendiri yang merupakan hujjah ilahiyyah yang dibuatsyari’ sebagai
alat untuk mengetahui hukum.
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama
tersebut mereka mendefiniskan qiyas sebagai berikut :
1) Shadr
as-Syariat menyatakan bahwa qiyas adalah perpindahan hukum
yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang
tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
2) Al-Ghuman
menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus
dengan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak
dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
2) Rukun Qiyas
a) Ashl (pokok)
Suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang menjadikan
tempat mengqiyaskan ini menurut para fuqoha’. Sedangkan menurut
teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum dengan kata
lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
b) Furu’ (cabang)
Yaitu
peristiwa yang tidak ada nashnya, ini yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya
dengan ashl.
c) Hukum asl
Hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d) Illat
Suatu sifat yang terdapat pada ashl dengan
adanya sifat itulah maka ashl mempunyai suatu hukum, dan
dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang disamakan dengan
hukum ashl.
4. Penetapan Tasyri’ pada masa
sahabat kecil dan tabi’in.
Pada
masa ini, wewenang untuk melaksanakan tasyri’ dipegang oleh generasi tabi’in
yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa
dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para sahabat yang ahli itulah para tabi’in
mempelajari al-Qur’an dan menerima riwayat hadits serta macam-macam fatwa.
Generasi ini memakai khittah yang telah dilalui oleh para
sahabat yaitu kembali pada dasar-dasar tasyri’ dan memperhatikan benar-benar
prinsip yang umum dan mentasyri’kan hukum. Karena itu mereka akan memberikan
fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja dan karena itulah
perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada
masa ini pula mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan paham yang
meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan
hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut dan dalam hal ini disebabkan oleh
perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda,
perbedaan pandangan tentang masalah, tingkat kecenderungan pikiran. Tempat
tinggal dan cara menggunakan ra’yuyang berbeda.
Pada
abad pertengahan ke II Hijriyyah kekuasaan tasyri’ dikendalikan
oleh para mujtahidin (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya,
Malik dan sahabat-sahabatnya, Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan
sahabat-sahabatnya). Pada abad ini perbedaan yang awalnya tidak meluas, menjadi
meluas kepada ushul atau dasar tasyri’dan hal ini
menyebabkan pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang
masing-masing mempunyai dasar, aliran, hukum furu’ yang berbeda.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa sahabat kecil dan tabiin
dimulai dari pemerintah Muawiyah Bin Abi Sofyan tahun 41 Hijriyyah sampai
timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan arab, yakni pada awal abad ke II
H., dan keadaan tasyri’ pada masa ini dalam kelompok-kelompok atau golongan. Sedangkan sumber penetapan
hukum pada masa ini juga tidak jauh berbeda dengan masa sahabat yakni
al-Qur’an, as-sunah, ijma’ dan qiyas.
DAFTAR PUSTAKA
1. http:m-syarifuddin.blospot.com/2009/05/tasyri’pada
masa sahabat kecil dan html
2. Syafi’I, Rahmat. 2007, Ilmu
Ushul Fikih, Pustaka Setia : Bandung
3. Bik, Hudlari. 1980, Tarikh
Al-Tasyri’ al-Islami. Darul Ikhya: Indonesia
No comments:
Post a Comment