Orientasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
m.adam hilmi
Lahirnya Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005
tentangStandar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, mensyaratkan peningkatan kualifikasi guru SD/MI dari
lulusan D-II menjadi minimal lulusanS-1 atau D-IV. Pemberlakuan dua regulasi
tersebut berimplikasi pada penyebarluasan Program S-1 PGSD/S-1 PGMI. Sehubungan
dengan itu, Direktorat Ketenagaan DIKTI telahmenyusun standar kompetensi Guru
Kelas SD Lulusan S-1 PGSD.Standar kompetensi tersebut seyogyanya dijadikan
acuan dalam pengembangan kurikulum yang dilakukan pada Program Studi S-1PGSD
maupun S-1 PGMI di setiap perguruan tinggi yangmelaksanakan program tersebut.
Program studi pgmi disiapkan untuk
mendidik calon guru pada tingkat pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah/SD). mata
kuliah yang diajarkan di antaranya telaah kurikulum MI/SD, metedologi
penelitian, kimia dasar, kimia analit, hadis, ulumul hadis, mekanika, dan kepramukaan
dsb.
Merujuk pada
Sejarah PGMI tak bisa dilepaskan dari sejarah institusional STAIN Salatiga yang
awalnya adalah Fakultas Tarbiyah. Pilihan sebagai “tarbiyah” sejak awal berdiri
menunjukkan keunikan lembaga ini dibandingkan dengan beberapa STAIN lain di
Jawa Tengah. Berkait dengan Pendidikan Guru MI maka ada tiga periode sejarah
yang dilewatinya. Pertama, periode awal berdiri tahun 1969 sampai tahun 1990,
Fakultas Tarbiyah Salatiga adalah bagian dari IAIN Walisongo Semarang yang
spesifik terfokus menyiapkan guru agama Islam di madrasah dan sekolah.
Jenjang pendidikan yang ditempuh adalah Sarjana Muda dan Strata satu (S.1)
Pendidikan Agama Islam, dan Pendidikan Bahasa Arab saja. PGMI, belum menjadi
pilihan sasaran program di masa itu.
Periode kedua
merupakan akar kelahiran PGMI yang berawal ketika pada tahun 1990 mulai dibuka
program Diploma II program penyiapan guru kelas untuk Madrasah Ibtidaiyah dan
Program guru agama Islam untuk SD/MI. Kelahiran jenjang pendidikan diploma dua
(D II) tersebut dimaksudkan sebagai jawaban atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan PGKMI/SD di Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga terus berlanjut hingga saat ada perubahan
status Fakultas Tarbiyah menjadi STAIN Salatiga pada tahun 1997. Di saat itu,
PGKMI/SD merupakan bagian progdi DII dari jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
Periode ketiga
dimulai ketika tahun 2005 yang secara yuridis adalah masa peralihan dari benih
yang telah disemai sejak bulan Juli tahun 2003, yaitu dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kehadiran
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan memberi sinyal kuat bagi semua Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) untuk merubah sistem. Sinyal tersebut semakin kuat di
penghujung tahun 2005 dengan kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 tentang Guru dan Dosen. Titik penting undang-undang ini adalah adanya
keharusan semua guru adalah lulusan Strata 1. Imbasnya adalah adanya keputusan
pemerintah untuk menghentikan pengadaan program Diploma II bidang kependidikan.
STAIN Salatiga yang sejak awal berdiri commited terhadap persoalan keguruan
tentu secara fitrah tergerak menjawab sinyal yuridis tersebut. Naskah
akademik ini adalah representasi artikulasinya. Hal ini menjadikan pijakan
untuk memulai kerja keras para pengelola dan senat STAIN Salatiga yang
menghasilkan usulan pengajuan pendirian Program Studi PGMI Strata 1 pada
tahun 2006. Dan akhirnya, turunlah surat izin penyelenggaraan Program Studi
PGMI yang memulai aktifitasnya pada tahun 2007.
Menjadi guru
adalah menjadi orang yang mencintai hidup dan kehidupan, matang secara emosi,
memiliki kapasitas moral yang baik, memahami value dari penciptaan
manusia, dan senantiasa selalu bisa memberikan energi positif bagi orang
sekitarnya terutama bagi peserta didik. Disadari atau tidak peran guru tentu
bukan perkara enteng yang bisa di upgrade selama 4 tahun ketika si
guru sudah selesai memenuhi tuntutan profesionalisme dengan menyelesaikan masa
studi S-1 nya.
Dunia
pendidikan memang tengah ber-euforia dengan wacana kesejahteraan,
upaya pemerintah untuk memberikan perhatian pada kesejahteraan guru idealnya
disikapi dengan penuh tanggung jawab oleh si “objek kebijakan” – Guru.
Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru didasari oleh keinginan akan
revitalisasi kualitas pendidikan di Indonesia, diharapkan kualitas pendidikan
Indonesia berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan pada guru sebagai
ujung tombak pendidikan. Dengan peningkatan gaji yang -relatif- meningkat
diharapkan para guru bisa lebih fokus dalam mengajar, mendidik, dan membina
peserta didik.
Tanpa bemaksud
untuk bersikap sinis, dilapangan ada sedikit pergeseran budaya para guru
yang mudah-mudahan sifatnya hanya di permukaan, dahulu membicarakan
masalah finansial menjadi hal yang tabu apalagi di area publik akan
tetapi sekarang topik finansial menjadi topik pokok untuk dibicarakan
dalam berbagai kesempatan. Berlepas dari keinginan untuk menghakimi perilaku
guru, akan tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan keluhuran profesi
guru, guru kembali menghayati landasan filosofis profesi yang
disandangnya. Bahwa dia mempunyai tanggung jawab untuk membentuk karakter anak
bangsa, menjadi pendidik, pembimbing, dan pembina oleh karena itu guru dituntut
untuk terus meningkatkan kapasitas dirinya – proses belajar seumur hidup dan
tidak berhenti disatu titik apalagi terjebak pada masalah finansial an
sich.
Berbicara dengan
pendekatan pembangunan kesadaran memang bukan sebuah upaya yang mudah, tidak
bisa dilakukan dengan instant. Sejatinya, pendidik -Guru- mulai bersikap
proporsional dan tetap bijak dalam menyikapi wacana kesejahteraan ini. Mereka
diharapkan tetap mampu menjiwai profesinya dan tetap bisa berpegang teguh
terhadap inti dari pendidikan hal ini untuk mencegah para guru dari situasi
terasing dari profesinya. Melulu berbicara tentang masalah Finansial hanya akan
membuat sang guru tercerabut dari identitas keguruannya. Ketika dia terbuai
dengan persoalan finansial maka dengan sendirinya dia sedang membukakan pintu
keterasingan. Dimulai dengan perasaan bosan dan perasaan bahwa menjadi guru
hanya sebuah pekerjaan rutin yang tidak terlalu membutuhkan pemikiran
dan perlakuan lebih.Menjadi guru adalah kegiatan harian dari jam 07.00 sampai
dengan jam 12.30 yang dimulai dengan ucapan salam kepada anak-anak, dan
diakhiri dengan do’a penutup belajar saja.
Sang guru –
idealnya- memiliki waktu yang sengaja diluangkan untuk berkontemplasi
(bermuhasabah, berfikir lebih lanjut dan dalam ) tentang kegiatan yang dia
lakukan di setiap harinya. Berkontemplasi tentang bagaimana proses
Kegiatan Belajar Mengajarnya hari ini, berkontemplasi tentang bagaimana
perkembangan si Ali, Si Sahla, Si Hamka, dan peserta didik lainnya,
berkontemplasi tentang apa matanya sudah cukup berbinar ketika menatap mata
peserta didik, berkontemplasi apa dia sudah mampu memberikan energi pisitif
kepada peserta didik dengan sentuhannya, berkontemplasi apa dia sudah mampu
mengidentidfikasi bahwa si Veni adalah istimewa dengan kemampuan otak kirinya,
Si Jihan istimewa dengan kemampuan Agitasinya, Si Rian istimewa dengan
kemampuan fisiknya…dan apa yang bisa dia –guru- lakukan untuk
mengembangkan benih –siswa- yang tengah dia genggam sehingga benih itu
tidak hanya mampu berbunga tapi juga mampu berbuah lebat.
Ketika
kesadaran akan betapa berat beban yang disandangnya apa bisa sang guru tetap
melaju dengan kecepatan konstan, apa bisa sang guru hanya berkeluh kesah ketika
disetiap harinya dia dituntut untuk mencurahkan sedikit waktunya untuk
membuat sebuah rencana pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Meluangkan
waktunya untuk berfikir ekstra tentang metode yang akan di pakai untuk memenuhi
standard kompetisi yang ingin dicapai. Dengan kesadaran tentang tanggung jawab
profesi apa mungkin si Guru akan tetap berjibaku dengan obrolan-obrolan pasar
seputar gosip selebriti yang tak pernah putus tanpa mampu mengkontekskannya
dalam pendidikan dan pendidikan moral. Menjadi guru adalah menjadi individu
yang faham akan konteks realitas yang ada di masyarakat dan menyajikannya
secara edukatif kepada siswa. Sehingga dia menjadi fasilitator yang membidani
lahirnya tunas bangsa yang memiliki kematangan intelegensi, emosi, dan
spiritual. Dengan kesungguhan InsyaAlloh hal itu bukan barang Utopis
untuk diwujudkan.
Ada pula contoh
lain Lahirnya Program Studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) tahun 2007 lebih didasarkan kebutuhan mendesak
terhadap adanya kekurangan guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada saat itu,
MI sering diimaginasikan banyak orang sebagai lembaga “kelas dua”, karena
berbagai kondisi permasalahan yang dihadapi lembaga tersebut, mulai dari
persoalan pengelolaan (manajemen) yang tidak terstandar, persoalan kelembagaan,
kesejahteraan yang pas-pasan, hingga persoalan pengakuan masyarakat terhadap
keberadaan MI.Semua persoalan yang pada akhirnya berujung pada masalah
sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompeten, tidak sesuai kualifikasi yang
dibuthkan terutama terkait dengan guru, sebagaimana terdapat dalam pasal 42 UU
No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi
minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Kehadiran Prodi
PGMI merupakan salah satu solusi yang dijadikan acuan pemerintah (baca: Kemenag
RI) dalam rangka memberdayakan madrasah, terutama terkait dengan pemenuhan
kebutuhan guru MI yang kompeten, professional, dan memiliki kualifikasi minimal
S1. Bagi Taufiq Siraj, Dosen PGMI IAIN Sunan Ampel dalam tesis penelitiannya
menyebutkan bahwa: “Program S-1 PGMI ini menjanjikan sejumlah harapan kepada
calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai tenaga pengajar pada MI
dengan sertifikasi untuk mengajar di MI. Melalui program S-1 PGMI dapat
dijadikan awal dan kesempatan bagi penyiapan guru yang profesional dan ahli
pada tingkatan MI serta dapat melahirkan lulusan MI dengan SDM yang baik pada
tingkatan lokal dan nasional”.
Diselenggarakannya Program PGMI akan memberikan sejumlah kematangan bagi
seorang sarjana dengan karakteristik dan profil sebagai tenaga pendidik sesuai
dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang pendidikan yang dilalui.
Terkait dengan
hal tersebut konsekwensi minimum yang harus ditunjukkan lulusan PGMI mampu
menjawab persoalan-persoalan keilmuan mendasar yang ada di MI. Oleh karena itu,
istilah yang digunakan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Guru, untuk menyebut lulusan S1 PGMI/PGSD adalah
Guru Kelas.
Sebagai Guru
Kelas MI/SD, yang pertama kali harus dikuasai adalah kemampuan pedagogik guru
dalam proses pembelajaran serta penguasaan ilmu yang dibutuhkan menyangkut
berbagai hal yang terkait mata pelajaran di MI/SD, yakni Bahasa Indonesia,
Matematika, Ilmu Pengetahuan Alama (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS),
dan Pendidikan Kewarganageraan. Kelima mata pelajaran tersebut menjadi
beban tanggung jawab guru kelas dalam proses pembelajaran, sementara mata
pelajaran yang lain seperti Pendidikan Agama Islam (PAI) (baca: SKI, Fiqh,
Akidah Akhlak, Quran Hadis, dan Bahasa Arab), Seni Budaya dan Karya (SBK),
olahraga dan kesehatan menjadi beban tugas dari guru mata pelajaran MI/SD.
Berdasarkan
pada aturan tersebut, diharapkan semua lulusan PGMI/PGSD dapat menunjukkan
kemampuannya minimal dalam 4 kompetensi utama, yakni pedagogik, professional,
kepribadian, dan sosial. Jika memang acuan yang manjadi sandaran
penyelenggaraan prodi PGMI/PGSD itu sama, maka sudah seharusnya semua lulusan
dari kedua lembaga tersebut dapat berkiprah di semua jenjang pendidikan dasar,
MI atau SD tanpa harus mempersoalkan “induk” dari keduanya. Selain dapat
berkiprah di MI, lulusan PGMI pun semestinya bisa berkontribusi di SD,
begitupun sebaliknya.
Program
S1 PGMI ini, paling tidak sasaran PGMI seharusnya diarahkan pada pencapaian
sasaran, yaitu:
- Memberi sejumlah kompetensi keguruan pada guru MI; Kompetensi yang dimaksud adalah a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c) kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, yakni sebagai guru MI/SDI melalui program PGMI,
- Mewujudkan kinerja (performance) pembelajaran guru secara optimal melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); kinerja demikian diharapkan memberikan penyegaran terhadap proses pembelajaran (instructional) dengan lebih menekankan pada pembelajaran berbasis siswa sebagai sasaran (subyek) belajar melalui interaksi pembelajaran,
- Penguasaan atas materi (content) kurikulum SD/MI dengan baik; yang ditandai dengan kemampuan untuk menguasai kurikulum berupa komponen institut, fakultas dan jurusan.
- Memberikan kesempatan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di daerah secara nasional untuk bersama-sama dan berkompetisi melakukan percepatan pendidikan dan perbaikan mutu pendidikan guru pada tingkatan SD/MI di sekolah/madrasah secara nasional, antara lain melalui: Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Agama (LPTKA), PGMI, akreditasi, dan sertifikasi,
- Menyiapkan calon guru SD/MI yang profesional, yang ditandai dengan kemampuan teoritis-ilmiah, dan kemampuan aplikatif dengan program magang, microteaching, PKLT, Kukerta, dan program lain.
- Memenuhi kekurangan guru MI/SD secara nasional; kekurangan ini terjadi sebagai akibat pertambahan angka usia sekolah (usia SD/MI), maupun karena faktor-faktor lain seperti pertambahan jumlah penduduk, penyebaran masyarakat dan pendidikan, pensiun, meninggal, dan sebagainya, sehingga membutuhkan guru tidak saja secara kualitas tetapi juga kuantitas yang memadai dan berimbang untuk memenuhi diseminasi pendidikan bagi kebutuhan guru MI/SDI.
- Memperkuat kebijakan pemerintah di bidang peningkatan SDM guru melalui program penghapusan D2/D3 menjadi S1 bagi semua guru pada berbagai tingkatan dan jenis pendidikan; hal ini dilakukan sebagai komitmen untuk memperkuat pelayanan dan mutu pendidikan bagi setiap peserta didik, sehingga tidak ditemukan lagi guru yang mengajar hanya bebekal pendidikan D2 dan D3 secara nasional.
Tujuan umum Program studi Pendidikan Guru
Madrasah Ibtidaiyyah adalah untuk menghasilkan lulusan yang trampil dan mahir
berPendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah yang bermanfaat dalam mencapai tujuan
umum di atas. Atas tujuan di atas maka kompetensi lulusan program studi
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah Fakultas Tarbiyah IAIT diharapkan memiliki
kompetensi sebagai berikut :
- Memiliki kemahiran kePendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah Tingkat Lanjut.
- Memiliki pengetahuan mengenai masyarakat, budaya, dan Agama Islam di Indonesia yang merupakan pengetahuan dasar di dalam studi Pendidiktan Guru Madrasah Ibtidaiyyaha
Thanks for reading dan silahkan download makalah ini versi PPT DOWNLOAD ORIENTASI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)VERSI PPT
No comments:
Post a Comment