Monday, June 24, 2013

Orientasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)

Orientasi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
m.adam hilmi
Lahirnya Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI)
 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentangStandar Nasional Pendidikan dan Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mensyaratkan peningkatan kualifikasi guru SD/MI dari lulusan D-II menjadi minimal lulusanS-1 atau D-IV. Pemberlakuan dua regulasi tersebut berimplikasi pada penyebarluasan Program S-1 PGSD/S-1 PGMI. Sehubungan dengan itu, Direktorat Ketenagaan DIKTI telahmenyusun standar kompetensi Guru Kelas SD Lulusan S-1 PGSD.Standar kompetensi tersebut seyogyanya dijadikan acuan dalam pengembangan kurikulum yang dilakukan pada Program Studi S-1PGSD maupun S-1 PGMI di setiap perguruan tinggi yangmelaksanakan program tersebut.
Program studi pgmi disiapkan untuk mendidik calon guru pada tingkat pendidikan dasar (Madrasah Ibtidaiyah/SD). mata kuliah yang diajarkan di antaranya telaah kurikulum MI/SD, metedologi penelitian, kimia dasar, kimia analit, hadis, ulumul hadis, mekanika, dan kepramukaan dsb.
Merujuk pada Sejarah PGMI tak bisa dilepaskan dari sejarah institusional STAIN Salatiga yang awalnya adalah Fakultas Tarbiyah. Pilihan sebagai “tarbiyah” sejak awal berdiri menunjukkan keunikan lembaga ini dibandingkan dengan beberapa STAIN lain di Jawa Tengah. Berkait dengan Pendidikan Guru MI maka ada tiga periode sejarah yang dilewatinya. Pertama, periode awal berdiri tahun 1969 sampai tahun 1990, Fakultas Tarbiyah Salatiga adalah bagian dari IAIN Walisongo Semarang yang spesifik terfokus menyiapkan  guru agama Islam di madrasah dan sekolah. Jenjang pendidikan yang ditempuh adalah Sarjana Muda dan Strata satu (S.1) Pendidikan Agama Islam, dan Pendidikan Bahasa Arab saja. PGMI, belum menjadi pilihan sasaran program di masa itu.
Periode kedua merupakan akar kelahiran PGMI yang berawal ketika pada tahun 1990 mulai dibuka program Diploma II program penyiapan guru kelas untuk Madrasah Ibtidaiyah dan Program guru agama Islam untuk SD/MI. Kelahiran jenjang pendidikan diploma dua (D II) tersebut dimaksudkan sebagai jawaban atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan PGKMI/SD di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga terus berlanjut hingga saat ada perubahan status Fakultas Tarbiyah menjadi STAIN Salatiga pada tahun 1997. Di saat itu, PGKMI/SD merupakan bagian progdi DII dari jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga.
Periode ketiga dimulai ketika tahun 2005 yang secara yuridis adalah masa peralihan dari benih yang telah disemai sejak bulan Juli tahun 2003, yaitu  dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kehadiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan memberi sinyal kuat bagi semua Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk merubah sistem. Sinyal tersebut semakin kuat di penghujung tahun 2005 dengan kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tentang Guru dan Dosen. Titik penting undang-undang ini adalah  adanya keharusan semua guru adalah lulusan Strata 1. Imbasnya adalah adanya keputusan pemerintah untuk menghentikan pengadaan program Diploma II bidang kependidikan. STAIN Salatiga yang sejak awal berdiri commited terhadap persoalan keguruan tentu  secara fitrah tergerak menjawab sinyal yuridis tersebut. Naskah akademik ini adalah representasi artikulasinya. Hal ini menjadikan pijakan untuk memulai kerja keras para pengelola dan senat STAIN Salatiga yang menghasilkan  usulan pengajuan pendirian Program Studi PGMI Strata 1 pada tahun 2006. Dan akhirnya, turunlah surat izin penyelenggaraan Program Studi PGMI yang memulai aktifitasnya pada tahun 2007.
Menjadi guru adalah menjadi orang yang mencintai hidup dan kehidupan, matang secara emosi, memiliki kapasitas moral yang baik, memahami value dari penciptaan manusia, dan senantiasa selalu bisa memberikan energi positif bagi orang sekitarnya terutama bagi peserta didik. Disadari atau tidak peran guru tentu bukan perkara enteng yang bisa di upgrade selama 4 tahun ketika si guru sudah selesai memenuhi tuntutan profesionalisme dengan menyelesaikan masa studi S-1 nya.
Dunia pendidikan memang tengah ber-euforia dengan wacana kesejahteraan, upaya pemerintah untuk memberikan perhatian pada kesejahteraan guru idealnya disikapi dengan penuh tanggung jawab oleh si “objek kebijakan” – Guru. Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru didasari oleh keinginan akan revitalisasi kualitas pendidikan di Indonesia, diharapkan kualitas pendidikan Indonesia berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan pada guru sebagai ujung tombak pendidikan. Dengan peningkatan gaji yang -relatif- meningkat diharapkan para guru bisa lebih fokus dalam mengajar, mendidik, dan membina peserta didik.
Tanpa bemaksud untuk bersikap sinis, dilapangan ada sedikit pergeseran budaya para guru  yang mudah-mudahan sifatnya hanya di permukaan, dahulu membicarakan masalah finansial menjadi hal yang tabu apalagi  di area publik akan tetapi sekarang topik finansial menjadi topik pokok  untuk dibicarakan dalam berbagai kesempatan. Berlepas dari keinginan untuk menghakimi perilaku guru, akan tetapi lebih kepada upaya untuk mengembalikan keluhuran profesi guru,   guru kembali menghayati landasan filosofis profesi yang disandangnya. Bahwa dia mempunyai tanggung jawab untuk membentuk karakter anak bangsa, menjadi pendidik, pembimbing, dan pembina oleh karena itu guru dituntut untuk terus meningkatkan kapasitas dirinya – proses belajar seumur hidup dan tidak berhenti disatu titik apalagi terjebak pada masalah finansial an sich.
Berbicara dengan pendekatan pembangunan kesadaran memang bukan sebuah upaya yang mudah, tidak bisa dilakukan dengan instant. Sejatinya, pendidik -Guru- mulai bersikap proporsional dan tetap bijak dalam menyikapi wacana kesejahteraan ini. Mereka diharapkan tetap mampu menjiwai profesinya dan tetap bisa berpegang teguh terhadap inti dari pendidikan hal ini untuk mencegah para guru dari situasi terasing dari profesinya. Melulu berbicara tentang masalah Finansial hanya akan membuat sang guru tercerabut dari identitas keguruannya. Ketika dia terbuai dengan persoalan finansial maka dengan sendirinya dia sedang membukakan pintu keterasingan. Dimulai dengan perasaan bosan dan perasaan bahwa menjadi guru hanya sebuah  pekerjaan rutin  yang tidak terlalu membutuhkan pemikiran dan perlakuan lebih.Menjadi guru adalah kegiatan harian dari jam 07.00 sampai dengan jam 12.30 yang dimulai dengan ucapan salam kepada anak-anak,  dan diakhiri dengan do’a penutup belajar saja.
Sang guru – idealnya- memiliki waktu yang sengaja diluangkan untuk berkontemplasi (bermuhasabah, berfikir lebih lanjut dan dalam ) tentang kegiatan yang dia lakukan di setiap harinya.  Berkontemplasi tentang bagaimana proses Kegiatan Belajar Mengajarnya hari ini, berkontemplasi tentang bagaimana perkembangan si Ali, Si Sahla, Si Hamka, dan peserta didik lainnya, berkontemplasi tentang apa matanya sudah cukup berbinar ketika menatap mata peserta didik, berkontemplasi apa dia sudah mampu memberikan energi pisitif kepada peserta didik dengan sentuhannya, berkontemplasi apa dia sudah mampu mengidentidfikasi bahwa si Veni adalah istimewa dengan kemampuan otak kirinya, Si Jihan istimewa dengan kemampuan Agitasinya, Si Rian istimewa dengan kemampuan fisiknya…dan apa yang bisa dia –guru- lakukan untuk mengembangkan benih –siswa- yang tengah dia genggam sehingga benih itu  tidak hanya mampu berbunga tapi juga mampu berbuah lebat.
Ketika kesadaran akan betapa berat beban yang disandangnya apa bisa sang guru tetap melaju dengan kecepatan konstan, apa bisa sang guru hanya berkeluh kesah  ketika disetiap harinya dia dituntut untuk mencurahkan sedikit waktunya untuk  membuat sebuah rencana pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Meluangkan waktunya untuk berfikir ekstra tentang metode yang akan di pakai untuk memenuhi standard kompetisi yang ingin dicapai. Dengan kesadaran tentang tanggung jawab profesi apa mungkin si Guru akan tetap berjibaku dengan obrolan-obrolan pasar seputar gosip selebriti yang tak pernah putus tanpa mampu mengkontekskannya dalam pendidikan dan pendidikan moral. Menjadi guru adalah menjadi individu yang faham akan konteks realitas yang ada di masyarakat dan menyajikannya secara edukatif kepada siswa. Sehingga dia menjadi fasilitator yang membidani lahirnya tunas bangsa yang memiliki kematangan intelegensi, emosi, dan spiritual. Dengan kesungguhan InsyaAlloh hal itu bukan barang Utopis untuk diwujudkan.
Ada pula contoh lain Lahirnya  Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) tahun 2007 lebih didasarkan kebutuhan mendesak terhadap adanya kekurangan guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada saat itu, MI sering diimaginasikan banyak orang sebagai lembaga “kelas dua”, karena berbagai kondisi permasalahan yang dihadapi lembaga tersebut, mulai dari persoalan pengelolaan (manajemen) yang tidak terstandar, persoalan kelembagaan, kesejahteraan yang pas-pasan, hingga persoalan pengakuan masyarakat terhadap keberadaan  MI.Semua persoalan yang pada akhirnya berujung pada masalah sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompeten, tidak sesuai kualifikasi yang dibuthkan terutama terkait dengan guru, sebagaimana terdapat dalam pasal 42 UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kehadiran Prodi PGMI merupakan salah satu solusi yang dijadikan acuan pemerintah (baca: Kemenag RI) dalam rangka memberdayakan madrasah, terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan guru MI yang kompeten, professional, dan memiliki kualifikasi minimal S1. Bagi Taufiq Siraj, Dosen PGMI IAIN Sunan Ampel dalam tesis penelitiannya menyebutkan bahwa: “Program S-1 PGMI ini menjanjikan sejumlah harapan kepada calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai tenaga pengajar pada MI dengan sertifikasi untuk mengajar di MI. Melalui program S-1 PGMI dapat dijadikan awal dan kesempatan bagi penyiapan guru yang profesional dan ahli pada tingkatan MI serta dapat melahirkan lulusan MI dengan SDM yang baik pada tingkatan lokal dan nasional”.  Diselenggarakannya Program PGMI akan memberikan sejumlah kematangan bagi seorang sarjana dengan karakteristik dan profil sebagai tenaga pendidik sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang pendidikan yang dilalui.
Terkait dengan hal tersebut konsekwensi minimum yang harus ditunjukkan lulusan PGMI mampu menjawab persoalan-persoalan keilmuan mendasar yang ada di MI. Oleh karena itu, istilah yang digunakan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, untuk menyebut lulusan S1 PGMI/PGSD adalah Guru Kelas.
Sebagai Guru Kelas MI/SD, yang pertama kali harus dikuasai adalah kemampuan pedagogik guru dalam proses pembelajaran serta penguasaan ilmu yang dibutuhkan menyangkut berbagai hal yang terkait mata pelajaran di MI/SD, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alama (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan  Pendidikan Kewarganageraan. Kelima mata pelajaran tersebut menjadi beban tanggung jawab guru kelas dalam proses pembelajaran, sementara mata pelajaran yang lain seperti Pendidikan Agama Islam (PAI) (baca: SKI, Fiqh, Akidah Akhlak, Quran Hadis, dan Bahasa Arab), Seni Budaya dan Karya (SBK), olahraga dan kesehatan menjadi beban tugas dari guru mata pelajaran MI/SD.
Berdasarkan pada aturan tersebut, diharapkan semua lulusan PGMI/PGSD dapat menunjukkan kemampuannya minimal dalam 4 kompetensi utama, yakni pedagogik, professional, kepribadian, dan sosial. Jika memang acuan yang manjadi sandaran penyelenggaraan prodi PGMI/PGSD itu sama, maka sudah seharusnya semua lulusan dari kedua lembaga tersebut dapat berkiprah di semua jenjang pendidikan dasar, MI atau SD tanpa harus mempersoalkan “induk” dari keduanya. Selain dapat berkiprah di MI, lulusan PGMI pun semestinya bisa berkontribusi di SD, begitupun sebaliknya.



Program S1 PGMI ini, paling tidak sasaran PGMI seharusnya diarahkan pada pencapaian sasaran, yaitu:
  1. Memberi sejumlah kompetensi keguruan pada guru MI; Kompetensi yang dimaksud adalah a) kompetensi pedagogik, b) kompetensi kepribadian, c) kompetensi sosial, dan d) kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, yakni sebagai guru MI/SDI melalui program PGMI,
  2. Mewujudkan kinerja (performance) pembelajaran guru secara optimal melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan); kinerja demikian diharapkan memberikan penyegaran terhadap proses pembelajaran (instructional) dengan lebih menekankan pada pembelajaran berbasis siswa sebagai sasaran (subyek) belajar melalui interaksi pembelajaran,
  3. Penguasaan atas materi (content) kurikulum SD/MI dengan baik; yang ditandai dengan kemampuan untuk menguasai kurikulum berupa komponen institut, fakultas dan jurusan.
  4. Memberikan kesempatan kepada Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di daerah secara nasional untuk bersama-sama dan berkompetisi melakukan percepatan pendidikan dan perbaikan mutu pendidikan guru pada tingkatan SD/MI di sekolah/madrasah secara nasional, antara lain melalui: Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Agama (LPTKA), PGMI, akreditasi, dan sertifikasi,
  5. Menyiapkan calon guru SD/MI yang profesional, yang ditandai dengan kemampuan teoritis-ilmiah, dan kemampuan aplikatif dengan program magang, microteaching, PKLT, Kukerta, dan program lain.
  6. Memenuhi kekurangan guru MI/SD secara nasional; kekurangan ini terjadi sebagai akibat pertambahan angka usia sekolah (usia SD/MI), maupun karena faktor-faktor lain seperti pertambahan jumlah penduduk, penyebaran masyarakat dan pendidikan, pensiun, meninggal, dan sebagainya, sehingga membutuhkan guru tidak saja secara kualitas tetapi juga kuantitas yang memadai dan berimbang untuk memenuhi diseminasi pendidikan bagi kebutuhan guru MI/SDI.
  7. Memperkuat kebijakan pemerintah di bidang peningkatan SDM guru melalui program penghapusan D2/D3 menjadi S1 bagi semua guru pada berbagai tingkatan dan jenis pendidikan; hal ini dilakukan sebagai komitmen untuk memperkuat pelayanan dan mutu pendidikan bagi setiap peserta didik, sehingga tidak ditemukan lagi guru yang mengajar hanya bebekal pendidikan D2 dan D3 secara nasional.
Tujuan umum Program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah adalah untuk menghasilkan lulusan yang trampil dan mahir berPendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah yang bermanfaat dalam mencapai tujuan umum di atas. Atas tujuan di atas maka kompetensi lulusan program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah Fakultas Tarbiyah IAIT diharapkan memiliki kompetensi sebagai berikut :
  1. Memiliki kemahiran kePendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah Tingkat Lanjut.
  2. Memiliki pengetahuan mengenai masyarakat, budaya, dan Agama Islam di Indonesia yang merupakan pengetahuan dasar di dalam studi Pendidiktan Guru Madrasah Ibtidaiyyaha
Thanks for reading dan silahkan download makalah ini versi PPT DOWNLOAD ORIENTASI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)VERSI PPT


No comments:

Post a Comment