KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah SWT. Penguasa tiap detik waktu yang berlalu dimuka bumi ini. Dengan
mengucap Alhamdulillah, kami telah menyelesaikan makalah “Sosiologi Pendidikan”
dengan sebaik-baiknya. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengajar
“Sosiologi Pendidikan” yang telah memberikan masukan ataupun bimbingan pada
proses penulisan makalah ini, dan tak lupa kepada teman-teman yang telah
memberikan dukungan dan semangatnya kepada kami.
Sudah sepantasnya
apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan atau kesalahan yang
disengaja maupun tidak disengaja kami
mohon maaf. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan
demi memperbaiki pembuatan makalah yang akan datang, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Surabaya, 16 April 2013
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ............................................................................................ 1
Daftar Isi...................................................................................................... 2
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang........................................................................... 3
B. Rumusan Masalah...................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan........................................................................ 4
BAB II : Pembahasan
A. Ragam Paradigma
1. Konservatif ......................................................................... 5
2. Paradigma Kapitalis............................................................. 6
3. Paradigma Liberal................................................................ 7
B. Paradigma perspektif konflik sebagai cikal bakal –
paradigma kritis.......................................................................... 10
C. Substansi pradigma kritis........................................................... 12
D. Paradigma Makro dilihat dari Pendidikan Islam....................... 13
E. Konsekuensi pada Pendidikan................................................... 15
BAB III : Kesimpulan................................................................................. 18
Daftar Pustaka............................................................................................. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor penentu kemajuan dan keberhasilan dalam
pembangunan di segala bidang. Pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap keberhasilan suatu bangsa untuk dapat meraih cita-cita dan tujuan
nasional. Meskipun demikian, harus diakui pula bahwa pendidikan yang mampu
mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan negara ini. Paradigma
pendidikan di Indonesia senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Perubahan paradigma pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan suatu
paradigma baru dalam pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan dan tuntutan
jaman.
Kualitas komponen-komponen pendidikan sebagai pembentuk suatu paradigma
pendidikan yang mampu menjawab permasalahan-permasalahan bangsa, menjadi
penentu bentuk paradigma pendidikan yang mutakhir. Salah satunya dimulai dari
bangku pendidikan formal. Pendidikan formal atau persekolahan selama ini
bekerja secara mekanis seperti halnya sebuah pabrik. Dikatakan demikian karena
persekolahan hanya menekankan pada alur input
– proses – output saja. Sekolah memposisikan siswa sabagai raw input, kemudian dididik di sekolah
hingga lulus. Sering kali kualitas lulusan siswa (yang merupakan output pendidikan), kurang menjadi fokus
utama. Sekolah yang seharusnya mampu
memenuhi kebutuhan sumber daya manusia yang cakap dan kompeten, seringkali
mengabaikan aspek-aspek penting bahwa kelak siswa harus terjun di dunia kerja
dan terjun di tengah-tengah masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1.
Menjelaskan
ragam paradigma/ideologi:
a.
Konservatif
(perspektif fungsional)
b.
Paradigma
kapitalis
c.
Paradigma
liberal (perspektif liberal)
2.
Menganalisis
paradigma perspektif konflik sebagai cikal bakal paradigma kritis.
3.
Menganalisis
substansi paradigma kritis.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami ragam paradigma/ideologi.
2.
Untuk
memahami paradigma perspektif konflik sebagai cikal bakal paradigma kritis.
3.
Untuk
memahami substansi paradigma kritis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ragam Paradigma
Paradigma
ialah suatu cara pandang, pola pikir,
cara berpikir. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Paradigma
diartikan sebagai kerangka berpikir. Seperti contoh ketika anda memakai
kacamata hitam maka semua objek yang anda lihat akan berwarna hitam. Paradigma akan mempengaruhi cara pandang dalam melihat realitas dan bagaimana cara
menyikapinya. Ilmuwan sosial Thomas S Kuhn, orang yang pertama kali menggunakan
konsep paradigma, melalui buku Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda mengungkapkan
paradigma bukan saja bersifat kognitif tapi juga normatif. Paradigma bukan saja
mempengaruhi cara berpikir kita tentang realitas, tetapi juga mengatur cara
mendekati dan bertindak atas realitas.
Ragam pardigma
yaitu konservatif (berspektif fungsional), paradigma kapitalis dan paradigma
liberal (berspekstif liberal).
1.
Konservatif (berspektif fungsional)
Kecenderungan politik bergantung pada sejarah dan
perkembangan budaya. Misalnya, konservatisme sosial mempertahankan lembaga dan
proses-proses sosial yang sudah ada. Perubahan boleh tetapi harus mentaati
tatanan yang sudah berlaku. Mereka tidak menolak nalar tetapi juga menerima
nalar secara total. Sedangkan konservatisme reaksionisme menolak nalar dan
konservatif filosofis menempatkan nalar di atas segala-galanya. Bagi kaum
konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan
alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan
sejarah atau bahkan takdir Tuhan.
Perubahan sosial bagi mereka bukanlah sesuatu yang
harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara
saja. Dalam bentuknya yang kalsik atau awal paradigma konservatif dibangun
berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan
perubahan atau mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna di balik itu semua. Dengan
pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki
kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma koservatif cenderung lebih
menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni
orang - orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara,
menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena kan banyak orang lain yang
ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang ke
sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara.
Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka
datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan
kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam
masyarakat dalam mencairkan konflik dan kontradiksi.
2. Paradigma Kapitalis
Kapitalismesecaraetimologi berasal dari kata kapital.
Kapital berasal dari bahasa Latin yaitu capitalis yang sebenarnya
diambil dari kata kaput (bahasa Proto-Indo-Eropa) yang
mempunyaiarti“kepala”. Arti ini menjadi jelas jika kita gunakan dalam istilah
“pendapatan per kapita” yang berarti pendapatan per kepala.
Secara terminologi, Kapitalisme berarti suatu paham
yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya dengan bebas untuk
meraih keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu pemerintah tidak dapat
melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama,
Kapitalisme pendidikan terjadi apabila prinsip
kapitalisme digunakan di dalam sektor pendidikan. Dalam sistem kapitalis ini
negara tidak membatasi kepemilikan perorangan dalam sektor pendidikan.[1] yang
artinya bahwa satuan penyelenggara pendidikan dapat dikuasai oleh perorangan
(sektor swasta atau aktor non negara), dimana segala kebijakannya diatur oleh
sektor swasta tersebut dan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator tanpa
ada ikut campur dalam pengelolaan pendidikan.
Kapitalisme dalam pendidikan ini berarti bahwa setiap orang atau pemilik berhak menyelenggarakan pendidikan. Dimana segala kebijakan diatur oleh perorangan. Dan
pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator tanpa adanya ikut campur dalam pengelolahan
pendidikan. Ketika pemilik modal telah sukses dalam menyelenggarakan pendidikan,
maka pemilik modal akan menaruh tarif tersendiri kepada para pengguna jasa tanpa
memikirkan kemampuan dari pihak pengguna jasa pendidikan. Jelas hal ini akan merugikan bagi pihak pengguna jasa
pendidikan, karena mereka tidak diberi kesempatan untuk menawar harga
untukbiaya pendidikan. Akhirnya, akan muncul kesenjangan-kesenjangan bahwa
orang yang kaya lah yang bisa mendapatkan pendidikan tersebut. Sedangkan bagi
pihak pengguna jasa pendidikan yang kurang mampu, akan kesulitan dalam
mendapatkan pendidikan.
3.
Paradigma Liberal
Kata liberal secara harfiah artinya
"bebas" (free), artinya "bebas dari berbagai
batasan" (free from restraint).[2]Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan
kebebasan berpikir bagi para individu.
Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya
dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan
yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi
(private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu system pemerintahan yang
transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena
itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme.
Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam system demokrasi,
hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Paradigma pendidikan liberal bermuara pada
konsep modernisasi di Barat. Salah satu faktor modernitas adalah pengakuan
sepenuhnya terhadap kebebasan individu. Di samping kebebasan individu,
modernisasi juga mengedepankan kebebasan kuasa akal manusia (rasionalis).
Paradigma pendidikan liberal berkiblat pada aliran filsafat eksistensialis dan
progresifisme. Namun, sekali lagi paradigma penidikan liberal itu tetap
berorientasi untuk melanggengkan norma-norma yang telah mapan, akibatnya
pendidikan liberal tidak konstruktif atau dinamis.
Paradigma pendidikan liberal tidak bisa lepas dari
dasar filosofnya , yakni disebut aliran filsafat positivisme, sementara
positivisme itu sendiri merupakan paradigma keilmuan yang berakar dari filsafat
rasionalisme.
Akar dari pendidikan Liberalisme yakni suatu
pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan (aspek potensi), melindungi
hak-hak, dan kebebasan manusia (freedom, hurriyyah), serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas
jangka panjang. Paham individualistik sangat kuat mempengaruhi paradigma
pendidikan liberal. Sehingga konsep pendidikan dalam tradisi liberal juga
berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme.[3]
Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan
bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh
liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat
komponen-komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat
tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa.
Model tipe ideal mereka adalah manusia
"rationalis liberal", seperti:pertama, bahwa semua manusia
memiliki potensi sama dalam intelektual.kedua, baik tatanan alam maupun
norma sosial dapat ditangkap oleh akal. ketiga, adalah
"individualis" yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik
dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada
keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap
tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Dalam konteks potensi, akal manusialah yang di pandang
paling urgen dalam paradigma pendidikan liberal. Manusia dipandang sebagai
binatang yang rasional (animal rasional) merupakan kelainan tersendiri bagi
ragam eksistensi yang ada. Manusia tidak bisa disamakan dengan eksistensi
lainnya yang tidak berakal.
Disamping pendewasan akal manusia, paradigma
pendidikan liberal juga mengakui atas hak-hak individu manusia. Maksudnya
setiap manusia memiliki kebebasan memilih dan bertindak sesuai dengan
hatinya, orang lain tidak punya hak atas tindakan dan pilihannya. Oleh karena
itu paradigma pendidikan liberal bernuansa kebebasan manusia secara
individual.
Paradigma pendidikan liberal juga mengalami beberapa
anomali yang memerlukan penambahan-penambahan. Kebebasan manusia menurut
paradigma ini bermuara pada prinsip Individualisme sebagai konsekwensi
dari arus modernisasi barat yang cenderung kering dari kehidupan religiusitas
(Muarif, 2005 :46). Dalam paradigma ini cenderung terjadi pendikotomian
antara pendidikan Islam dan pendidikan umum, di karenakan agama tidak dijadikan
suatu bagian dari ilmu pengetahuan.
B. Paradigma Perspektif Konflik sebagai cikal bakal
paradigma kritis
Berdasar pandangan Hegel, manusia dipandang
sebagai makhluk yang rasional, kooperatif, dan juga sempurna. Integrasi sosial
terjadi karena adanya dominasi, konflik menjadi instrument perubahan, utopia.
Marx merupakan tokoh sosiologi utama dalam paradigma ini. Metodologi ilmu
pengetahuan dalam paradigma ini adalah filsafat materialisme, histories, holistic,
dan terapan. Paradigma konflik ini memandang manusia sebagai mahluk yang
obyektif yang hidup dalam realitas social,
Realitas yang kontradiksi dan fenomena fakta sosial yang sering muncul
dalam sebab akibat akan direfleksikan oleh teori konflik melalui logika
dialektik dan pada akhirnya akan tercipta dunia yang lebih baik.
Asumsinya adalah: pertama, gambaran tentang
sifat dasar manusia yaitu pencipta, cooperativ, rasional dan sempurna yang
kedua , gambaran tentang masyarakat yang berarti tentang masyarakat yaitu
interdependent, struktural, menyeluruh, dan dinamis. Ketiga, tentang masa lalu
dan masa kini yaitu timpang penuh tekanan dan pertarungan . keempat pandangan
tentang masa depan yaitu utopia dan egaliter.kelima image tentang ilmu
pengetahuan yaitu filsafat materialisme, historis, holistik (menyeluruh),
dialektikdan terapan.
Menurut paradigma konflik manusia pada dasarnya
memiliki sifat gotongroyong atau kerjasama karena manusia tercipta sebagai
mahluk sosial, dimana perilakunya diasumsikan rasional. Dalam ciri demikian,
manusia diyakini memiliki potensi untuk mengungkapkan pemikiran-pemikirannya
melalui berbagai.cara.yaitu.pengalaman,.pemikiran.dan.pendidikan..Selanjutnya,.masyara-kat dipandang
sebagai realitas yang struktural. Struktur ini merupakan suatu kondisi yang
muncul dalam perjalanan sejarahnya. Setiap kelompok masyarakat cenderung
memunculkan sifat-sifat manusiawinya jika struktur sosialnya mendukung untuk
menuju arah tersebut. Masyarakat akan terjaditimpang jikaterdapat eksis
perbedaandalamhal yang mencolok antar warga dalam hal materi, power dan
status. Untuk dapat memahami manusia,
Paradigma
konflik mendekatinya dengan menerapkan filsafat materialisme. Inilah yang
menurut mereka harus didasari pengembangan ilmu tentang manusia dan masyarakat.
Karena terkait dengan struktur, berbagai komponen dalam masyarakat (manusia,
lembaga, organisasi, dan kelas) tidak dapat dipelajari terpisah secara
sendiri-sendiri, namun mesti secara holistik. Holistik dan historis merupakan
dua kata kunci pokok dalam pengembangan ilmu-ilmu sosiologi di bawah.paradigma.konflik. Konsep
materialisme ini mendapat respon dari beberapa sosiolog, dan mengusulkan fakta
bahwa realitas pada hakekatnya juga bersifat plural dan multidimensi.
Bertolak.dari.material.sebagai.pokok.strukur,.paradigma.konflik.memperha-tikan secara
kuat determinisme ekonomi. Basis struktur ekonomi lah penentu suprastruktur di
atasnya baik berupa politik, sosial, dan budaya.
Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir
kritis dengan empat hal yakni.berpikir.secara.dalam.totalitas.atau.sepenuhnya.dan.dialektis.bercakap dengan baik, serta
empiris-historis, dalam kesatuan teori dan praksis, serta dalam realitas.yang.tengah.terjadi.dan.terus.bekerja.(working.reality).
Teori.Kritis.berangkat.dari.4 sumber kritik yang.dikonseptualisasikan
oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Hegel merupakan peletak
dasar metode berpikir dialektis. Kritis didefinisikan sebagaisebuah refleksi
diri atas.tekanan.dan.kontradiksi.yang.menghambat.suatu.proses.yang.akan.membentukan.diri-rasio.dalam.sejarah.manusia.tersebut. Menurut Marx,
yang berdialektika bukan fikiran, tapi kekuatan-kekuatan material dalam
masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasi diri
darisebuah penindasan dan elienasi yang dihasilkan oleh penguasa di dalam
masyarakat. Kritis dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi
diri dari alienasi atau keterasingan yang.dihasilkan.olehsebuah.hubungan.kekuasaan.dalam.masyarakat.
Secara konseptual
paradigma konflik mengkritisi paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan
bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan juga
tidak selalu gradual, namun dapat terjadi secara revolusioner[4].
Konflik adalah sesuatu yang melekat dalam
setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai negatif, karena konflik menjadi
instrument perubahan. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis
terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independent, bebas
dan memiliki otoritas untuk menafsirkansebuah realitas yang ada. Sedangkan
paradigma konflik mempertajam paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya sebuahpembongkaran
atas dominasi satu kelompokataugolongan pada kelompok.atau.golongan.yang.lain.
Paradigma kritis ialahsuatu paradigma yang bertumpu padasebuah analisis struktural dan membongkar ideologi yang dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
Paradigma kritis ialahsuatu paradigma yang bertumpu padasebuah analisis struktural dan membongkar ideologi yang dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat.
C.
Substansi.Paradigma.Kritis
Teori kritis dikembangkan oleh Thomas S. Popkewitz. Yakni tentang berbagai pemikiran dan pandangan
yang terdapat dalam pemikiran seseorang. Dalam teori kritis terdapat dua
kategori yakni yang pertama” kritis internal” yang dimaksud daklam kritis
internal yaitu kritis terhadap analisis argument dan metode yang digunakan
dalam berbagai penelitian. Kritik yang difokuskan pada alasan teorirtis dan
procedur dalam memilih, mengumpulkan, dan menilai data empiris. Kritik ini
memepntingkan ada alasan , prosedur dan bahasa dalam mengungkap kebenaran.
Yang kedua, makna “kritis” dalam reformulasi masalah logika. Logika
bukan semata-mata pengetahuan formal dan kriteria internal dalam pengamatan.
Tetapi juga melibatkan berbagai bentuk khusus pemikiran ynnag di fokuskan pada
rasa ingin tahu terhadap institusi social dan konsepsi tentang realitas yang
berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi social historis[5].
D.
Paradigma Makro dilihat dari Pendidikan Islam
Paradigma makro
pendidikan jika dilihat dari pendidikan Islam, paradigma yang lebih berorientasi pada: disentralistik, kebijakan pendidikan bersifat
bottom up, orientasi pengembangan pendidikan
lebih bersifat holistik artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan
kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir,
menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif,
produktif, dan kesadaran hukum.
Meningkatnya
peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya
pengembangan pendidikan, pemberdayaan institusi masyarakat, seperti keluarga, LSM,
pesantren, dunia usaha-usaha, lemabag-lembaga
kerja, dan pelatihan, dalam upaya
pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada
terbentuknya masyarakat madani Indonesia.
Pendidikan
Islam sudah
harus diupayakan untuk merintis kemajuan, berjiwa demokratis, dan desentralisasi. sehingga menjadi pendidikan Islam yang kaya
dalam keberagaman, dengan titik berat pada peran masyarakat dan peserta
didik.
Dalam proses
pendidikan, perlu dilakukan “kesetaraan
perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain, pendidikan berorientasi
rekonstruksi sosial, pendidikan dalam
rangka pemberdayaan umat dan bangsa, pemberdayaan
infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan Islam. Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk
mencapai keunggulan, penciptaan iklim
yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan. Dari pandangan ini, berarti diperlukan
perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertical (antar jenjang
– bottom-up dan top- down planning), pendidikan harus berorientasi pada peserta
didik dan pendidikan harus bersifat multikultural serta pendidikan dengan
perspektif global”.[6]
Rumusan
paradigma pendidikan tersebut, paling
tidak memberikan arah sesuai dengan arah pendidikan, yang secara makro dituntut
menghantarkan masyarakat menuju masyarakat
madani Indonesia yang demokratis, relegius,
dan tangguh menghadapi lingkungan global.
Maka bila
ditinjau dalam upaya pembaruan
pendidikan Islam, perlu ada ikhtiar, yaitu strategi kebijakan
perubahan diletakan untuk menangkap kesempatan perubahan tersebut. Dan har
berorientasi pada masa depan, merintis kemajuan, berjiwa demokratis, bersifat
desentralistik, berorientasi pada
peserta didik, bersifat multikultural
dan berorientasi pada perspektif
global, sehingga terbentuk pendidikan yang berkualitas dalam menghadapi
tantangan prubahan global menuju terbentuknya masyarakat madani Indonesia. Sebab pada dataran konsep, pendidikan baik
formal maupun non formal “pada dasarnya memiliki peran penting melegitimasi
bahkan melanggengkan sistem dan struktur sosial yang ada dan sebaliknya pendidikan merupakan proses
perubahn sosial. Tetapi, peran
pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial tersebut, sangat bergantung pada
paradigma pendidikan yang mendasarinya”.[7]
Berdasarkan
pandangan di atas, maka peran pendidikan Islam
konteks makro, yaitu kepentingan masyarakat yang dalam hal ini termasuk
masyarakat bangsa, negara dan bahkan juga kemanusiaan pada umumnya”.[8]Sehingga
pendidikan Islam integratif antara proses belajar di sekolah dengan belajar di
masyarakat (learning society). Brubacher
dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978), menyatakan hubungan
pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan
sosial, tatanan ekonomi, politik dan negara,
karena pendidikan itu terjadi di
masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka
pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi
terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan.
Dengan demikian, kerangka acuan pemikiran dalam penataan dan pengembangan
sistem pendidikan Islam menuju masyarakat madani Indonesia, harus mampu
mengakomodasikan berbagai pandangan secara selektif sehingga terdapat
keterpaduan dalam konsep, yaitu :
Pertama,
pendidikan harus membangun prinsip kesetaraan antara sektor pendidikan dengan
sektor-sektor lain. Sistem pendidikan harus senantiasa bersama-sama dengan
sistem lain untuk mewujudkan cita-cita masyarakat madani Indonesia.
Menjadikan pendidikan sebagai suatu
sistem terbuka dan senantiasa berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya.
Kedua,
pendidikan merupakan wahana pemberdayaan masyarakat dengan mengutamakan
penciptaan dan pemeliharaan sumber yang berpengaruh, seperti keluarga, sekolah,
media massa, dan dunia usaha.
Ketiga, prinsip
pemberdayaan masyarakat dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya,
terutama institusi yang dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus
bangsa. Seperti pesantren, keluarga, dan berbagai wadah organisasi pemuda,
diberdayakan untuk dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan baik serta
menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan.
Keempat, prinsip kemandirian dalam pendidikan
dan prinsip pemerataan menurut warga negara secara individual maupun kolektif
untuk memiliki kemampuan bersaing dan sekaligus kemampuan bekerja sama.
E. Konsekuensi pada Pendidikan
Adanya
konsekuensi pada pendidikan akan menghambat proses pendidikan tersebut. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan pada konsekuensi pendidikan yakni.
(a) Konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit,
artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat. Sedangkan ajaran Islam
menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu
pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada
asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani.
(b) Lembaga- lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum
memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan
masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang.
Maka tantangan
utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber
insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas
masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin
pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat
mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan
diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah
bagi kesejahteraan umat manusia. Masyarakat madani yang diprediski memiliki
ciri ; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari
dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti
eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan
merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis
pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya
dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan
dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut.
Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya
mulai memikirkan kembali program
pendidikan untuk menuju masyarakat yang siap akan perubahan globalisasi, dengan
memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta citi-siri umum yang
terdapat dalam masyarakan . Maka untuk
menuju masyarakan yang mampu dan siap dalam kehidupan ini lembaga-lembaga
pendidikan Islam harus memilih satu di antara dua fungsi yaitu apakah mampu
mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan apakah mampu bersaing
secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada desain
pendidikan keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya
mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan
dunia.
BAB III
KESIMPULAN
Ragam pardigma yaitu konservatif (berspektif fungsional), paradigma
kapitalis dan paradigma liberal (berspekstif liberal).Konflik adalah
sesuatu yang melekat dalam setiap komunitas. Konflik tidak melulu dimaknai
negatif, karena konflik menjadi instrument perubahan. Paradigma pluralis
memberikan dasar pada paradigma kritis terkait dengan asumsinya bahwa manusia
merupakan sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas untuk
menafsirkansebuah realitas yang ada. Sedangkan paradigma konflik mempertajam
paradigma kritis dengan asumsinya tentang adanya sebuahpembongkaran atas
dominasi satu kelompokatau.golongan.pada.kelompok.atau.golongan.yang.lain. Paradigma
kritis ialahsuatu paradigma yang bertumpu padasebuah analisis struktural dan
membongkar ideologi yang dominan. Analisis kesejarahan yang menelusuri
dialektika antar tesis-tesis sejarah, ideologi, filsafat, aktor-aktor sejarah
baik dalam level individual maupun sosial, kemajuan dan kemunduran suatu
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
-
Freire
Paulo, Dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis,
Konservatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hlm. 219.
-
Illich,
Ivan, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerjemah: A. Sonny
Keraf, Yayasan Obor Indonesia : Jakarta, 2000.
-
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=790&Itemid=10diaksespada 29 April 2013 pukul 19.00 WIB
-
Burrell, G. & G.
Morgan, Sociological paradigms and organizational analysis, Arena, 1994.
-
Ritzer, G., Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
[1]Illich, Ivan, Bebaskan
Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerjemah: A. Sonny Keraf, Yayasan Obor
Indonesia : Jakarta, 2000.
[2]http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=790&Itemid=10diaksespada 29 April 2013 pukul 19.00 WIB
[3]Paulo Freire, Dkk., Menggugat Pendidikan
Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003,
hlm. 219.
[4]Ritzer, G., Sosiologi
Ilmu Pengetahuan Berparadgima Ganda (edisi kelima), Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
[5]Burrell, G.
& G. Morgan, Sociological paradigms and organizational analysis, Arena,
1994.
[6]Fasli
Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah , hlm.5.
[7]
Mansour Fakih, Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002), hlm.18.
[8]Fasli
Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, hlm.16-17. 7Ibid, hlm. 16.
No comments:
Post a Comment