Sunday, October 5, 2014

Sumber Hukum Islam Pada Masa Sahabat dan Nabi

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dari masa ke masa, permasalahan dan persoalan yang dihadapi oleh seseorang akan semakin berkembang. Begitu pula masalah yang dihadapi oleh seorang muslim tentunya juga berkembang dan kompleks. Dan masalah terkompleks yang dihadapi oleh muslim adalah ketika ia menemukan suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Oleh karena itu penetapan hukum terhadap hal-hal yang belum ada ketetapannya, sangat penting dilakukan. Adapun untuk menetapkan suatu hukum juga dibutuhkan sumber yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan

B. RUMUSAN MASALAH
1. Kapan dimulainya masa sahabat kecil dan Tabi’in
2. Bagaimana keadaan tasyri’ pada masa sahabat kecil dan Tabi’in?
3. Apa sajakah sumber-sumber penetapan hukum pada masa sahabat kecil dan Tabi’in?

C. TUJUAN PENULISAN
Untuk memenuhi tugas UAS semester 1 dan dapat digunakan sebagai pedoman atau pembelajaran bagi seluruh mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya tentang Sumber Hukum Islam Pada Masa Sahabat dan Tabi’in.



BAB II
PEMBAHASAN

Periode sahabat kecil dan tabi’in yang menjumpai mereka, dimulai dari pemerintah Mu’awiyah bin Abu Sufyan tahun 41 H., sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan Arab, yakni pada awal abad ke-2 H. Sedangkan menurut Nur Cholis Majid, bahwa masa tabi’in adalah masa peralihan dari masa sahabat nabi dan masa tampilnya imam-imam Madzhab. Adapun yang dimaksud dengan tabi’in adalah kaum muslim generasi kedua (mereka muslim di tangan para sahabat Nabi).

1. Keadaan Tasyri’ dan Masa Sahabat Tabi’in
Dalam masa ini umat Islam terpecah menjadi tiga golongan atau kelompok, yaitu penentang Ali dan Mu’awiyah (Khawarij), pengikut setia Ali (Syiah) dan jumhur ulama. Saat itu pandangan pemerintah terhadap ilmu pengetahuan sungguh antusias terbukti dengan banyaknya pembuktian ilmu pengetahuan yang terdiri diantaranya tentang hukum Islam, As-Sunnah, tafsir dan lain-lain. Karena banyaknya sahabat-sahabat yang sudah wafat, maka sebagian sahabat yang masih hidup adalah sebagai guru dari orang-orang yang meminta fatwa serta belajar kepadanya, mereka mempunyai hadits-hadist dan yang diriwayatkan dalam jumlah yang besar, sebagian diantaranya : Musnad Abu Hurairah 313 halaman dari Musnad Ahmad bin Hambal, Musnad Abdullah bin Umar 156 halaman, dalam Musnad Abu Bakar tertulis 41 halaman sertaMusnad Ali dalam 85 halaman.

Sumber hukum yang dulunya bermula dipandang hanya dalam tekstual dan bersifat kaku akan tetapi seiring berjalannya fase-fase keemasan lahir para
 cendekiawan-cendekiawan muslim yang mampu memberikan penerangan hukum yang tidak hanya memandang secara teks saja akan tetapi juga konteks yang sering berkembang dalam dunia Islam.
Selain terpandang dalam perkembangan pembukuan-pembukuan ilmu pengetahuannya periode ini merupakan periode sejarah dimana para jumhur sepakat untuk bersatu atau yang dikenal sebagai Amul jamaah (tahun persatuan Islam) akan tetapi kondisi sosial politik juga masih memanas yang pada benih-benih perselisihan politik yang mengakibatkan perselisihan dan tipudaya terhadap pemerintah. Kelompok pemberontak ini terbagi menjadi dua kelompok diantaranya :
a) Golongan Khawarij yang sebagian gerakan politiknya mengancam untuk membunuh raja yangzhalim dan keluarganya.
b) Golongan Syi’ah berpendapat bahwa pemerintah merupakan hak Ali dan keluarganya, jadi setiap orang yang merampas hak itu maka ia adalah zhalim dan pemerintahannya tidak sah.

2. Faktor Penyebab Berkembangnya Tasyri’
Adapun fakto-faktor yang menyebabkan perkembangannya tasyri’ pada masa ini adalah:
a. Bidang Politik
Pada fase ini perkenbangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya hukum.
b. Peluasan Wilayah
Sebagaimana yang kita ketahui peluasan wilayah Islam sudah berjalan pada periode khalifah (sahabat) yang kemudian berlanjut pada periode tabi’in mengalami perluasan wilayah yang sangat pesat dengan demikian telah banyak daerah-daerah yang telah ditaklukan oleh Islam.
c. Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada periode ini para Ulama dalam mengemukakan pemikiran dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu aliran Hadist yaitu para ulama’ yang dominan menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam menggunakan ra’yu, kedua adalah ulama aliran ra’yu yang banyak dalam penggunaan pemikirannya dengan ra’yu dibandingkan dengan hadist.
d. Fahamnya Ulama Tentang Ilmu Pengetahuan
Selain telah dibukukannya sumber-sember hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist sebagai pedoman para Ulama dalam penetapan hukum, para Ulama’pun sudah faham betul dengan keadaan yang terjadi serta para Ulama’-ulama’ yang dahulu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan seatu peristiwa dapat terpecahkan.
e. Lahirnya Para Cendekiawan-Cendekiawan Muslim
Dengan lahirnya cendekiawan-cendekiawan Muslim seperti Abi Hanifa, Imam Malik, Imam Syafi’i dan juga para sahabat-sahabatnya dengan pemikiran-pemikiran yang dimiliki telah berperan dalam pemprosesan suatu hukum yang berkembang dalam masyarakat.
f. Kembalinya Penetapan Hukum dan Ahlinya
Berkembangnya keadaan yang terjadi disekitar membuat banyak permasalahan-permasalahan baru yang terjadi, dengan demikian umat Islam baik itu para pemimpin negara maupun hakim-hakim pengadilan mengembalikan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada para mufti-mufti dan tokoh-tokoh ahli perundang-undangan.

3. Sumber-Sumber Tasyri’ Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
Sumber-Sumber Tasyri’ yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan sumber-sumber hukum yang digunakan pada masa sebelumnya, yakni masa sahabat besar. Sumber-sumber tasyri’ yang digunakan pada masa ini ada empat, yaitu:
a. Al-Qur’an
Jumhur Ulama telah sepakat bahwasanya Al-Qur’an merupakan sumber syara’ yang hakiki. Jadi apabila terjadi suatu peristiwa para ahli fatwa pada periode ini merujuk padakitabullah, karena kitabullah merupakan rujukan utama bagi setiap muslim untuk menentukan hukum atau menetapkan hukum. Oleh karena itu, mereka memperhatikan nash yang merujuk pada hukum yang dimaksudkan dan memahami nash itu. Pada periode ini ada ada hal yang mempengaruhi segi pemeliharaannya yakni : penelitiannya dan penjagaannya dari segala macam perubahan. Dan usaha yang dilakukan untuk menjaganya yaitu dengan adanya segolongan umat Islam yang bersungguh-sungguh menghafal Al-Qur’an dan memperbaiki sistem atau bentuk penulisannya serta pemberian garis dan kharokatnya
b. As-Sunnah
Dalam penggunan as-sunnah senagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an lebih disepakati oleh jumhur Ulama. As-Sunnah pulalah yang menjadi sumber hukum setelah Al-Qur’an bagi para sahabat besar karena tidak ada lagi perbedaan mengenai kehujjahan as-sunnah. Oleh karena itu pada periode ini sahabat dan tabi’in yang menggunakan as-sunnahsebagai sumber tasyri’ yang kedua. Jadi apabila yang mereka maksud tidak terdapat dalam Al-Qur’an/kitabullah, maka mereka akan beralih memperhatikan sunnah Rasul. Adapun as-sunnah karena banyak periwayatnya pada periode ini dan terputusnya segolongan ulama tabi’in karena riwayatnya tidak memperoleh perhatian untuk dibutuhkan, namun tidak dapat diterima oleh akal kalau keadaan ini berlangsung lama, karena jumhur beranggapan bahwaas-sunah itu menyempurnakan pembinaan hukum yang berfungsi untuk menerangkan al-Qur’an. Dan dikalangan jumhur tidak ada orang yang menentang pendapat ini. Orang yang pertama kali memperhatikan kekurangan ini adalah Imam Umar bin Abdul Aziz pada awal abad ke 11 H. ia menulis pada pekerjaannya di Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm:
Lihatlah hadist-hadist Rasulullah SAW, atau sunah beliau yang ada, kemudian tulislah karena sesungguhnya saya takut terhapusnya ilmu dan perginya (meninggalnya) ulama. (diriwayatkan oleh Malik dalam Muwatha’ dari riwayat Muhammad bin Hasan).
c. Ijma’
1) Pengertian Ijma’
Menurut bahasa terbagi dalam dua arti, bermaksud atau berniat dan kesepakatan terhadap sesuatu. Para ulama Ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ menurut istilah, diantaranya :
a) Pengarang Kitab fusulul bada’i berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan semua mujtahid dari umat Muhammad dalam satu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
b) Pengarang kitab Tahrir, al Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujtahid pada suatu masa terhadap masalah syara’.
2) Syarat-syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria di bawah ini :
a) Yang bersepakat adalah para mujtahid
Mujtahid adalah oang yang berakal, baligh, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.
b) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian sepakat dan laainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ harus mencakup keseluruhan mujtahid.
c) Para mujtahid harus umat Muhammad
Kesepakatan yang dilakukan oleh selain umat Muhammad tidak bisa dikatakan ijma’
d) Dilakukan setelah wafatnya nabi
Ijma’ harus terjadi atau dilakukan pada saat nabi telah wafat.
e) Kesepakatan harus berhubungan dengan syara’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makhruh, haram dan lain-lain.
3) Macam-macam ijma’
a) Ijma’ Sharih
Semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
b) Ijma’ Sukuti
Pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui para mujtahid lainnya, tapi mereka tidak menyepakati atau menolak pendapat tersebut. Ijma’ sukutidikatakan sah apabila memenuhi syarat :
- Diamnya mujtahid benar-benar tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
- Keadaan diamnya mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya, dan bisa dipandang cukup untuk mengemukakan pendapatnya.
- Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi, yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat dzanni.
4) Kehujjahan Ijma’ menurut pandangan para ulama.
a) Kehujjahan Ijma’ Sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah secara qoth’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan menjadi masalah yang tidak boleh diijtihadkan.
b) Kehujjahan ijma’ sukuti
Ijma’ sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya dikalangan para ulama’. Sebagian mereka tidak menyatakan ijma’ sukuti sebagai ijma’, bahkan tidak menganggapnya sebagai ijma’. Diantara mereka adalah pengikut Maliki dan Syafi’i yang menyatakan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
d. Qiyas
1) Pengertian Qiyas
Menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang sejenisnya. Dalam memberi pengertian tentang qiyas terbagi menjadi dua golongan :
Golongan yang pertama, menyatakan bahwa qiyas adalah buatan manusia yakni mujtahid. Sebaliknya menurut golongan yang kedua ijma’ merupakan ciptaan syari’, yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri yang merupakan hujjah ilahiyyah yang dibuatsyari’ sebagai alat untuk mengetahui hukum.
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut mereka mendefiniskan qiyas sebagai berikut :
1) Shadr as-Syariat menyatakan bahwa qiyas adalah perpindahan hukum yang terdapat pada ashl kepada furu’ atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan logika bahasa.
2) Al-Ghuman menyatakan bahwa qiyas adalah persamaan hukum suatu kasus dengan kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni.
2) Rukun Qiyas
a) Ashl (pokok)
Suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang menjadikan tempat mengqiyaskan ini menurut para fuqoha’. Sedangkan menurut teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar hukum.
b) Furu’ (cabang)
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, ini yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl.
c) Hukum asl
Hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash.
d) Illat
Suatu sifat yang terdapat pada ashl dengan adanya sifat itulah maka ashl mempunyai suatu hukum, dan dengan sifat itu pula terdapat cabang sehingga hukum cabang disamakan dengan hukum ashl. 
4. Penetapan Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in.
Pada masa ini, wewenang untuk melaksanakan tasyri’ dipegang oleh generasi tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari al-Qur’an dan menerima riwayat hadits serta macam-macam fatwa. Generasi ini memakai khittah yang telah dilalui oleh para sahabat yaitu kembali pada dasar-dasar tasyri’ dan memperhatikan benar-benar prinsip yang umum dan mentasyri’kan hukum. Karena itu mereka akan memberikan fatwa terhadap kejadian-kejadian yang telah terjadi saja dan karena itulah perselisihan paham diantara mereka belum meluas.
Pada masa ini pula mulai timbul pertukaran pikiran dan perselisihan paham yang meluas yang mengakibatkan timbulnya khittah-khittah baru dalam mentasyri’kan hukum bagi pemuka-pemuka tasyri’ tersebut dan dalam hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam memahami ayat-ayat hukum, cara berijtihad yang berbeda, perbedaan pandangan tentang masalah, tingkat kecenderungan pikiran. Tempat tinggal dan cara menggunakan ra’yuyang berbeda.
Pada abad pertengahan ke II Hijriyyah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para mujtahidin (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Malik dan sahabat-sahabatnya, Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan sahabat-sahabatnya). Pada abad ini perbedaan yang awalnya tidak meluas, menjadi meluas kepada ushul atau dasar tasyri’dan hal ini menyebabkan pemuka-pemuka tasyri’ pecah dalam beberapa golongan yang masing-masing mempunyai dasar, aliran, hukum furu’ yang berbeda.



BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari keterangan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa sahabat kecil dan tabiin dimulai dari pemerintah Muawiyah Bin Abi Sofyan tahun 41 Hijriyyah sampai timbulnya segi-segi kelemahan pada kerajaan arab, yakni pada awal abad ke II H., dan keadaan tasyri’ pada masa ini dalam kelompok-kelompok atau golongan. Sedangkan sumber penetapan hukum pada masa ini juga tidak jauh berbeda dengan masa sahabat yakni al-Qur’an, as-sunah, ijma’ dan qiyas.





DAFTAR PUSTAKA

1.      http:m-syarifuddin.blospot.com/2009/05/tasyri’pada masa sahabat kecil dan html
2.      Syafi’I, Rahmat. 2007, Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Setia : Bandung
3.      Bik, Hudlari. 1980, Tarikh Al-Tasyri’ al-Islami. Darul Ikhya: Indonesia

Dinamika Pemikiran dan Pemikiran Kontemporer Study Al-qur,an

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Al Quran bukanlah suatu kitab atau buku ilmiah, bukan pula buku sejarah atau buku sastra, atau buku ensiklopedia. Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. untuk  disampaikan kepada seluruh umat manusia agar dipahami, dikaji, dihayati dan diamalkan isinya sehingga menjadi bimbingan dan pedoman dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Al Quran diturunkan oleh Allah secara sempurna seirama dengan berakhirnya masa risalah kenabian yang ditandai dengan wafatnya Rasullullah saw. Kemudian al Quran menjadi pusaka yang paling berharga bagi manusia, khusunya umat beriman, untuk dijadikan penyuluh dan sumber inspirasi dalam menjalankan berbagai aktivitas. Dengan demikian al Quran tidak hanya diturunkan untuk orang-orang beriman tetapi juga kepada seluruh manusia. Hanya saja, dilihat dari aplikasinya, al Quran menjadi pedoman hidup, mau’ziah, furqon dan rahmat bagi orang yang bertaqwa, tetapi tidak hanya tertutup kemungkinan untuk dijadikan pelajaran oleh siapa saja yang mengkajinya.

1.2 Rumusan Masalah
            1.    Dinamika Pemikiran Para Pakar Kontemporer
2. Perbedaan dan Persamaan Pemikiran Para Pakar Al Qur’an Kontemporer dengan Salaf

1.3 Tujuan Penulisan
untuk memenuhi tugas UAS semester 1 dan dapat digunakan sebagai pedoman atau pembelajaran bagi seluruh mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya tentang Dinamika Pemikir dan Pemikiran Kontemporer Studi Al Qur’an.



BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 DINAMIKA PEMIKIRAN PARA PAKAR KONTEMPORER

Pemikir Kontemporer dan Pemikirannya
Menurut Ibn Katsir al Quran mulai diturunkan di sebuah tempat yang suci yang agung yaitu kota suci Makkah. Juga dalam bulan yang agung yaitu bulan Ramadhan, maka ia menggabungkan antara ruang dan waktu. Selain itu al Quran juga memiliki kualitasyang berada di luar kemampuan daya dukung sebuah gunung karangpun. Kenapa kami tulis seperti ini, karena gagasan  ini telah ditegaskan dalam kitab itu sendiri dan ini benar-benar dari Allah. Namun kekuatan ini tidak hanya kekuatan yang merusak saja, tetapi ia juga sumber positif bagi kesembuhan dan damai.
Para ahli Barat umumnya menganggap kata-kata seperti Quran, Furqan, surah dan seterusnya merupakan kata-kata pinjaman. Para ahli muslim umumnya menyatakan bahwa Quran itu seluruhnya dalam bahasa Arab dan kata-kata asing di dalamnya adalah kata-kata yang telah disepakati baik oleh orang Arab maupun bukan Arab atau sudah menjadi bagian dari bahasa Arab sebelum dipakai dalam al Quran yang menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan pada ayat-ayat al Quran yang menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan dalam bahasa Arab.
Dari sedikit penjabaran pemikiran di atas, ada beberapa ahli tafsir yang menyebutkan bahwa kebanyakan tafsir yang didasarkan pada tradisi Nabi sebenarnya berpijak pada haits-hadits yang dapat diragukan, lemah dan sering berupa hadits palsu. Zarkasyi  mengajukan pandapatnya mengenai peringatan Nabi untuk tidak melakukan penafsiran Quran menurut pendapat sendiri sebagai berikut: “Jika Hadits ini kuat, maka barangsiapa yang berbicara mengenai Quran semata-mata berdasarkan pendapatnya sendiri, tanpa bertumpu pada sesuatupun kecuali ucapannya sendiri, walaupun dia benar, akan sesat dari jalan yang benar. Ini karena ia berpendapat tanpa bukti apa pun”. Zarkasyi kemudian mengutip sebuah hadits Rasul yang mendukung penafsiran pribadi: “Quran itu lembut, mampu terhadap berbagai jenis penafsiran. Maka tafsirkanlah menurut jenis yang terbaik”.
Kebanyakan sarjana keagamaan Sunni sangat kritis terhadap tafsir-tafsir yang mewakili pandangan madzhab pemikiran, aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu madzhab pemikiran, aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu madzhab tertua yang dalam beberapa hal pengaruh dalam teologi dan filsafat Islam adalah Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili menekankan rasionalitas ketat dalam pikiran manusia sebagaimana juga dalam tindakan Ilahi. Allah bertindak secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Jika Allah baik, Dia tidak dapat berbuat jahat. maka Allah terikat oleh kebaikan dan oleh keadilan mutlak-Nya. Karena itu manusia sendirilah yang bertanggungjawab atas tindakannya.
Kaum Syiah umumnya sepakat dengan penafsiran Sunni mengenai prinsip Zhahr (luar) dan Bathn (dalam) Quran. Karena Quran terutama ditujukan kepada para imam, acuan sejarahnya tentunya kepada mereka lebih dahulu dan barulah setelah itu kepada para pengikutnya (Syiah) dan berikutnya kepada mereka yang datang setelahnya. Maka diriwayatkan, Imam Kelima mendefinisikan baik Zahr maupun Bathn sebagai takwil. Takwil dalam hal ini bukan berarti penafsiran tetapi pencapaian. Imam Kelima melanjutkan: ”Ada darinya (takwil) yang telah dipenuhi dan ada yang belum. Ia berlangsung sebagaimana matahari dan bulan. Bila waktu baginya tiba, ia terpenuhi”.
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905), salah seorang ahli tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip “Tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh al Quran”. Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang “Timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, ‘Abduh menulis: “Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan”. Bahkan, ‘Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat ‘Umar bin Khattab ketika membaca abba dalam surat Abasa (80:31) yang berbicara tentang keanekaragaman nikmat Tuhan kepada makhlukn-makhlukNya.
Sumbangan besar pemikiran Muhammad Abduh adalah demitologis teks-teks dasar yang setidaknya dalam tiga cara,
1.      Menegaskan historitas teks-teks sumber (yakni al Quran dan Sunnah) dengan cara yang moderat dan menggambarkan mentalitas bahasa Arab (pada masa Nabi). Serta mangaitkan teks-teks sumber itu dengan mentalitas Arab tersebut.
2.      Dia mencoba untuk membedakan al Quran sebagai buku petunjuk dengan buku-buku yang lain yang berbicara tentang sejarah filsafat atau hukum.
3.      Dia mengesahkan prinsip bahwa al Quran menjelaskan tentang  dirinya sendiri (yufassiru ba’dhuhum ba’dhan) untuk mengurangi efek samping strategi tafsir tradisional yang terlalu banyak dibebani oleh perdebatan filosofis dan grmatikal yang tidak perlu, serta dibebani oleh pendapat sekitar identifikasi hal-hal yang tidak perlu disebutkan dalam al Quran dengan cara mengutip hadits-hadits yang tidak otentik.
Menurut pemikiran Muhammad Thaha, pesan ayat-ayat makkiyah yang secara mendasar bersifat spiritual, memuat keadilan, kebebasan dan kesetaraan telah diganti oleh pesan ayat-ayat madaniyah yang menekankan hukum aturan dan ketaatan, karena masyarakat Arab tidak mampu menerima ayat-ayat makkiyah dalm konteks abad ketujuh. Sekarang bukan hanya mungkin, tetapi juga sangat penting untuk kembali kepada ayat-ayat makkiyah dan menunda pemberlakuan ayat-ayat madaniyah yang hanya sesuai dengan masyarakat Arab pada abad ketujuh. Menurut Thaha, syariah pada abad ketujuh tidak cocok diterapkan pada abad keduapuluh ini. Dengan menerapkan konsep nasikh-mansukh pada pesan ayat-ayat madaniyah, yang menurutnya telah dinaskh (dihapus pemberlakuannya) oleh ayat-ayat makkiyah, maka ayat-ayat makkiyah akan diaktifkan kembali dan diberi kekuatan besar untuk diterapkan.
Sedangkan pemikiran Muhammad Shahrur agak sedikit berbeda dengan pemikir lainnya. Shahrur menyatakan dalam al Quran sebagai kata Tuhan adalah diciptakan (created;makhluk):
“Seluruh yang ada dalam semesta alam adalah kata Allah, karena kata-katanya tidak berbahasa, kata matahari bagi Allah adalah matahari itu sendiri. Kata “sun” dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “syams” dalam bahasa Arab, tetapi bagi Allah “sun” adalah matahari itu sendiri, maka al Quran sebagai sebuah kata, adalah diciptakan, karena apabila ia tidak diciptakan berarti Allah adalah zat beretnis Arab”.
Bagi Sharur kehidupan yang dicontohkan Nabi hanya menyediakan sebuah model bagi muslim kontemporer, dalam pengertian bahwa beliau telah hidup sesuai pesan Allah, bukan hanya dalam pengertian bahwa kita hidup harus membuat pilihan yang sama dengan beliau (secara mutlak). Dalam pandangan Shahrur bahwasanya konteks terpenting bagi penafsiran al Quran adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang hidup umat dan satu-satunya batasan pada penafsiran di dalam konteks itu telah tersedia dalam bahasa teks itu sendiri dan tuntunan  era modern yang tentangnya (al Quran) harus bicara.
Disinilah terletak keunikan pendekatan Shahrur: tidak ada kontekstualisasi baik bagi teks, penerimaannya, maupun penyusunannya. Dengan kata lain, al Quran menurut pandangan ini adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah orang penerima, ia tidak memiliki peran selain menerima dan menyampaikan pesan hanya terbatas pada cara yang dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama atau sebagai variasi pertama dari beragam variasi perwujudan al Quran lainnya.
Sharur, menerapkan pendekatan linguistik tertentu untuk membedakan sejumlah variasi kata-kata yang digunakan dalam al Quran. Al Kitab tidak sama dengan al Quran, keduanya bukan sinonim. Sebenarnya teori tidak ada sinomitas dalam bahasa Arab Arab berasal dari teori linguistik Dr. Ja’far Dakk Al Bab, yang menulis pengantar dan menyumbangkan bab penutup Asrar al-Lisan al-Arabi.
Perbedaan al Quran dan al Kitab sejajar dengan dua aspek yang juga dibedakan Shahrur, yaitu al Mubuwwah (Kenabian) dan al Risalah (Pesan/Kerisalahan). Yang pertama menunjukkan perbedaan antara realitas  dan khayalan /ilusi. Sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan tingkah laku. Yang pertama bersifat obyektif dan independen dari penerimaan manusia. Yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia dan kapasitas manusia untuk mengetahui antara yang benar dan yang salah.
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.
 Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al Quran terpisah-pisah serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam al Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Misalnya masalah riba’, yang dikemukakan dalam surat-surat al Baqarah, Ali Imran dan Al Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan al Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi, bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbea-beda tersebut.
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir al Quran Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
            Fakhruddin ar-Razi lebih mengedepankan ilmu-ilmu aqliah di dalam tafsirnya, sehingga ia mencampur adukkan di dalamnya berbagai kajian mengenai kedokteran, logika, filsafat, dan hikmah. Ini semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna Qur’an dan jiwa ayat-ayatnya serta membawa nash-nash Kitab kepada persoalan-persoalan ilmu aqliah dan peristilahan ilmiahnya, yang bukan untuk itu nash-nash tersebut diturunkan. Oleh karena itu kitab ini tidak memiliki ruhaniah tafsir dan hidayah Islam, sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Di dalamnya terdapat segala sesuatu selain tafsir itu sendiri”, sebagaimana telah kami kemukakan pada bagian muka.
            Kitab al-Kasysyâf karya Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur di antar sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufasir bir-ra’yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-Alusi, Abus Su’ud, An-Nasafi dan para mufasir lain banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh Allamah Ahmad An-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intisâf. Dalam kitab ini An-Nayyir menyerang Zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah aqidah mazhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan. Al-Maktabah at-Tijariyah Mesir telah menrbitkan al-Kasysyâf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Mustafa Husain Ahmad, dan diberi lampiran empat buah kitab; 1) al-Intisâf oleh An-Nayyir, 2) asy-Syâfi fî Tajhrîji Ahâdîsil Kasysyâf oleh al-Hafiz Ibn Hajar al’Asqalani, 3) Hâsyiyah Tafsîr al-Kasysyâf oleh Syaikh Muhammad Ulyan al-Marzuqi, dan 4) Masyâhidul Insâf ‘alâ Syawâhidil Kasysyâf juga oleh al-Marzuqi. Kitab terakhir ini menunjukkan bahwa tafsir Zamakhsyari mengandung banyak aqidah Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat. Dan pada bagian terdahulu kami telah mengemukakan keterangan yang dinukil dari al-Buqini, “Saya telah mengeluarkan dari al-Kasysyaf paham Mu’tazilah untuk didiskusikan.”
            Fathul Qadir karya Asy-Syaukani adalah sebuah tafsir yang menggaungkan antara riwayat dengan istinbat dan penalaran atas nash-nash ayat. Dalam tafsir ini asy-Syaukani banyak bersandar pada tokoh-tokoh mufasir seperti an-Nahhas, Ibn ‘Atiyah dan al-Qurtubi. Dan tafsir tersebut kini beredar luas di berbagai penjuru dunia Islam.


2.2 PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PEMIKIRAN PARA PAKAR AL QURAN KONTEMPORER DENGAN SALAF

Pengenalan Salaf dan Kontemporer
Al Quran merupakan kitab suci yang paling sempurna yang antara lain sebagai Hudan Lin Naas. Al Quran menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan Islam sepanjang empat belas abad. Jika demikian maka pemahaman terhadap ayat-ayat al Quran melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan penting terhadap maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Sejak masa Nabi Muhammad saw. hingga saat ini banyak bermunculan para ulama antara lain ulama Mutaqaddimin dan ulama Mutaakhirin. Pengertian Ulama’ Mutaqaddimin ialah ulama’ yang tumbuh dan berkembang sebelum masa abad ke-3 H, dalam masa ini memiliki 3 periode:
            1.      Periode awal Islam (Rasul dan Sahabat) abad ke-1 H
            2.      Periode Tabi’in abad ke-1 H samapi abad ke-2 H
            3.      Periode Tabi’ Tabi’in abad ke-2 H dan ke-3 H
Pengertian ulama mutaakhirin (sesudah tahun 300 H) ialah ulama yang tumbuh dan berkembang sesudah masa abad ke-3 H, yaitu abad ke-4 H sampai abad ke-12 H.
Ulama mutaqaddimin (ulama salaf/terdahulu) sumber penafsiran didapat dari penafsiran Rasul saw, penafsiran Sahabat dan tabi’in yang dikelompokkan Tafsir bi al-Ma’tsur, tetapi mengembangkan lebih jauh dengan metode-metode kondisional.

Penafsiran Ulama’ Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Terdapat perbedaan yang mendasar antara tafsir mutaqaddimin dengan tafsir-tafsir selanjutnya. Penafsiran pada masa Rasul, Sahabat dan Tabi’in senantiasa berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan al Quran itu sendiri. Kalau pada masa Rasul, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas (mubham) kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan Ijtihad, khususnya yang memiliki kemampuan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Pada periode mutaqaddimin mereka belum pernah menaruh perhatian dari segi nahwu dan I’rab dan merekapun belum mengadakan kajian terhadap suatu ayat al Quran, susunan-susunan kalimat, majaz, ijaz, ithnab , taqdim dan ta’khir, washal dan qatha’ serta rida’ dan isitisna’.

Penafsir al Quran Pertama Kali
Penafsir al Quran yang pertama kali adalah Nabi Muhammad saw. karena beliaulah yang menerima perintah lansung dari hadhirat yang menurunkan al Quran, agar beliau menerangkannya tentang barang yang telah diturunkan kepada umat manusia. Dan tafsir dari Nabi saw. itu adalah yang oleh beliau dinyatakan “sunnah” atau “hadits” dari beliau, baik yang mengenai urusan kepercayaan atau I’tiqad, maupun yang mengenai urusan ibadah pula yang mengenai urusan hukum-hukum, urusan undang-undang, urusan akhlaq atau budi pekerti.
Nabi saw. memberi pimpinan  kepada segenap umatnya supaya mempelajari al Quran dengan arti kata yang sebenarnya serta mencari keterangannya yang sulit, sebagaimana oleh beliau pernah dinyatakan dengan sabdanya, yang artinya:
“Pelajarilah olehmu akan al Quran dan carilah olehmu akan arti tujuannya yang sulit”.(Riwayat Imam Ad Dailani dari s. Abi Hurairah r.a.).


Para Ahli Tafsir di Zaman Sahabat, Tabi’ien dan di Masa Sesudahnya
1. Para ulama ahli tafsir dizaman para sahabat, menurut riwayat adalah sebagi berikut:
a. Sahabat Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana tadi telah kami uraikan. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shahih dan dapat dipercaya adalah yang diriwayatkan dengan jalan Ali bin Abi Thalhah, yang biasa diambil/dikutip oleh Al bukhari dalam kitab tafsirnya dan oleh At Thabari dalam kitab tafsirnya serta oleh para Imam ahli tafsir yang mu’tabar.
b. S. Ali bin Abi Thalib. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shahih dan dapat dipercaya, adalah yang diriwayatkan oleh Wahin dari Ibnu Thufail.
c. S. Abdullah bin Mas’ud. Tafsir yang shahih dari beliau adalah yang diriwayatkan oleh Imam At Thabari.
d. S. Ubayya bin Ka’ab. Tafsirnya diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar Razi dan biasa dikutip oleh Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Abu Hatim, Imam Al Hakim dan Imam Ibnu Jarir At Thabari.
2. Para sahabat Nabi yang ahli tafsir al Quran, banyaklah dari antara mereka yang kemudian mengajarkan tafsir al Quran kepada para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka, ialah para orang Islam yang hanya dapat bertemu dengan para sahabat Nabi yang masih hidup, yang mereka itu menurut istilah para ulama Islam disebut para Tabi’in.
Diantara mereka tabi’ien yang ahli tafsir al Quran ialah:
       a.        Imam Sa’id bin Jubair                           i.    Imam Qatadah
b.         Imam Ikrimah                                       j.    Imam Ar Rabi’an Anas
c.         Imam Mujahid                                      k.   Imam Abdurrahman bin Zaid
d.         Imam ‘Athaa bin Abi Rabah                l.    Imam Ad Dhahhak bin Muzaahim
e.         Imam Muhammag bin Ka’ab                m.  Imam ‘Athiyyah Al ‘Ufi
f.          Imam Abil ‘Aliyah                               n.   Imam Murrah Al Hamdani
g.         Imam Hasan Bashri                              o.   Imam Abu Malik
h.         Imam Athaa bin Abi Salamah
Mereka itulah para ulama ahli tafsir dimasa sesudah para sahabat Nabi dan mereka itu oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu.
     3. Para ulama tafsir dimasa kemudian yang semua tafsir mereka disandarkan atas riwayat dari para sahabat Nabi, para tabi’ien dan tabi’ tabi’ien antara lain sebagai berikut:
     a. Imam Sufyan bin Umaiyah                      g. Ishaq bin Rahuwaih
     b. Waki’ bin Al Jarrah                                  h. Rauh bin Ubadah
     c. Syu’bah bin Al Hujjaj                              i. Abdu bin Humaid
     d. Yazied bin Harun                                    j. Abu Bakar bin Abi Syaibah
     e. Aadam bin Iyas                                        k. Sa’ied
     f. Abdurrazaq
Dan tafsir mereka itu yang paling baik serta banyak dipercaya adalah tafsir Imam Ibnu Jarier At Thabari, karena memang kitab tafsir ”Jami’ul Bayaan” yang dikarang beliau adalah satu-satunya kitab tafsir yang baik susunannya.

Pemikir dan Pemikiran al Quran Masa Klasik/Salaf
Bila pada Rasullullah saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam al Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan lain-lain.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di kota-kota tersebut, seperti:
  1. Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr di Makkah yang ketika itu berguru kepada Ibnu ‘Abbas
  2. Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam di Madinah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab
  3. Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin Mas’ud.
Berdasarkan penuturan Ibn Abbas bahwa, “Ada empat aspek tafsir: satu yang diketahui oleh orang Arab melalui pembicaraan mereka; yang lain karena ketidak tahuan, yang tidak seorangpun dapat dimanfatkan karenanya; aspek lainnya adalah yang diketahui oleh para ahli; dan yang terakhir adalah aspek yang diketahui Allah”.
            Riwayat dari Ibn Abbas  mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas yang campur aduk yang diberi nama Tafsir Ibn Abbas. Di dalamnya terdapat bermacam-macam riwayat dan sanad yang berbeda-beda, tetapi sanad paling baik adalah melalui Ali bin Abi Talhah al-Hasyimi, dari Ibn Abbas; sanad ini dipedomani oleh Bukhari dalam kitab Sahih-nya. Sedangkan sanad yang cukup baik, Jayyid, ialah yang melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari ‘Atâ’ bin as-Sa’ib.
            Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang mereka sandarkan kepada Ibn Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah adalah sanad melalui al-Kalbi dari Ubu Salih. Al-Kalbi adalah Abu Nasr Muhammad bin as-Sa’ib (w. 146 H). dan jika dengan sanad ini digabungkan riwayat Muhammad bin Marwan as-Sadi as-Sagir, maka hal ini akan merupakan silsilatul kazib, mata rantai kedustaan. Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bin Bisyr al-Azdi. Hanya saja al-Kalbi lebih baik daripadanya karena pada diri Muqatil terdapat berbagai mazhab atau paham yang rendah.
            Sementara itu sanad ad-Dahlak bin Muzahim al-Kufi, dari Ibn Abbas adalah Munqati’, terputus, karena ad-Dahlak tidak bertemu langsung dengan Ibn Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin ‘Imarah maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr adalah lemah. Dan jika sanad itu melalui riwayat Juwaibir, dari ad-Dahlak, maka riwayat tersebut sangat lemah karena Juwaibir sangat lemah dan ditinggalkan riwayatnya.
            Sanad melalui al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibn Abbas, banyak dipergunakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, padahal al-‘Aufi itu seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan bahkan terkadang dinilai hasan oleh Tirmizi.
Dengan penjelasan tersebut dapatlah kiranya pembaca menyelidiki jalan periwayatan tafsir Ibn Abbas dan mengetahui mana jalan yang cukup baik dan diterima, serta mana pula jalan yang lemah atau ditinggalkan, sebab tidak setiap apa yang dirwayatkan dari Ibn Abbas itu sahih atau pasti. Masalah ini telah kami kemukakan lebih rinci pada bagian terdahulu ketika membicarakan tentang tafsirnya.[36][36]
            Kitab At-Tabari [37][37] tentang tafsir, Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril Qur’ân, merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para musafir bil-ma’sir. Ibn Jarir memaparkan tafsir dengan menyandarkannya kepada sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah disusun sebuah kita tafsir pun yang dapat menyamainya. Nawawi adalah Tahżîb-nya mengemukakan, “Kitab Ibn Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorang pun pernah kitab yang menyaminya.” Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa istinbat yang unggul dari pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samara i’rabnya. Dengan itulah, antara lain, tafsir tersebut berada di atas tafsir-tafsir yang lain. Sehingga Ibn Kasir pun banyak menukil darinya
Tentang tafsir Ibn Kasir  Muhammad Rasyid Rida menjelaskan:
“Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan i’rab dan cabang-cabang balagah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakn mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”
            Di antara ciri khas atau keistimewaannya adalah perhatiannya yang cukup besar terhadap apa yang mereka namakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”. Dan sepanjang pengetahuan kami, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan (penafsiran ayat dengan) hadis-hadis marfu’ yang ada relevansinya dengan ayat (yang sedang ditafsirkan) serta menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari ayat tersebut. Kemudian diikuti pula dengan asar para sahaat dan pendapat para tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
            Termasuk keistimewaannya pula ialah disertakannya selalu peringatan akan cerita-cerita Isra’iliyat tertolak (munkar) yang banyak tersebar dalam tafsir-tafsir bil-ma’sûr, baik peringatan itu secara global maupun mendetail. Namun alangkah akan sangat lebih baik lagi andaikan ia menyelidikinya secara tuntas, atau bahkan tidak memuatnya sama sekali jika tidak untuk keeperluan penyaringan dan penelitian.
Para ulama ahli tafsir al Quran di zaman klasik, pada umumnya mereka dalam menafsirkannya adalah amat berhati-hati, tidak ceroboh dan tidak suka serampangan. Mereka dalam mengerjakannya, selain sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban sebagai orang yang mengerti dan dapat menafsirkan al Quran, juga karena mencari keridhaan Allah semata-mata. Disamping itu mereka insaf, jangan sampai menyalahi apa yang menjadi tujuan al Quran itu diturunkan kepada umat manusia.
Sedangkan para ulama ahli tafsir dimasa kontemporer, menafsirkannya tidak seteliti para ulama terdahulu. Mareka hanya mengutip dari kitab-kitab tafsir yang terdahulu dengan tidak diselidiki lebih lanjut lagi, dan pula cara mengutipnya dengan singkat, sehingga tidak merupakan sebagai tafsir. Maksud mereka hendak memudahkan orang mempelajari tafsir al Quran, tetapi akhirnya malah menjauhkan orang dari al Quran.
Disamping itu, banyak juga di antara ulama yang mengarang tafsir al Quran dengan cara yang menjadi kesukaan mereka, lantaran dari keahlian masing-masing dan atau menurut aliran mereka masing-masing. Kalau keahlian dan/atau aliran yang mereka ikut itu di dalam kebenaran, sesuai dengan perintah Allah dan pemimpin RasulNya, tidaklah mengapa, tetapi kalau keahlian, kesukaan dan atau aliran mereka itu di dalam kesesatan tentu tafsir itu akan membahayakan bagi Islam dan kaum Muslimin.
Namun diantara perbedaan corak pemikiran para pemikir Salaf dan Kontemporer mereka juga mempunyai persamaan dalam pemikiran mereka. Yaitu mereka sama-sama menkaji al Quran sebagai landasan hidup seluruh umat Islam dan menjadi sumber hokum dalam perikehidupan.

Produk Pemikiran Para Ulama Kontemporer dan Ulama Salaf
            Banyak kita temukan para Ulama Kontemporer maupun Ulama Salaf melalui hasil karyanya. Para  Ulama tersebut antara lain adalah:
1.      Imam Al Waahidi, dalam tafsirnya “Al Basieth”. Beliau ini dalam tafsirnya hanya menjelaskan dengan panjang lebar tentang yang berkenaan dengan I’rab al Quran, menurut qaidah-qaidah atau peraturan-peraturan ilmu nahwu dan sebagainya. Maksudnya, untuk menunjukkan, bahwa betapa baiknya susunan kalimat-kalimat di dalam al Quran itu, kalau memang akan diuji menurut peraturan bahasa Arab yang biasa dipakai oleh para ahli Nahwu.
2.      Imam al Qurthubi dalam tafsirnya “Jaami’u Ahkaamil Quran”. Beliau ini mengarang tafsir ini dengan sengaja menerangkan ayat-ayatnya disesuaikan dengan segala sesuatu yang bersangkut-paut dengan soal-soal ilmu Fiqih. Cara beliau menjelaskannya dengan tertib di dalam tafsirnya itu dari bab bersuci sampai ke bab orang perempuan yang menjadi hamba sahaya yang dikawini oleh majikannya sampai melahirkan anak. Dan dalam membicarakannya soal Fiqih itu kadang-kadang dengan panjang lebar, sehingga keluar dari batas-batas ayat yang ditafsirkan.
3.      Imam Ibnul ‘Arabi dalam tafsirnya “Ahkamul Quran”. Beliau ini menafsirkan al Quran dalam tafsirnya ini hanya menghimpunkan ayat-ayat yang bertalian dengan hukum-hukum saja, kemudian dibahas dikupas dan dipecahkan hukum-hukumnya, sampai suatu masalah menjadi beberapa masalah. Maksudnya untuk menunjukkan kehebatan hukum-hukum yang terkandung di dalam al Quran.
4.      Imam al Baghawi, dalam tafsirnya “Ma’alimut Tanziel”, dan Imam Ibnu Katsir dalam kita tafsirnya yang terkenal. Keduanya mengarang tafsir, yang semua penjelasannya disandarkan atas beberapa riwayat atau hadits dari nabi saw. atau disandarkan atas beberapa riwayat dari para sahabat dan dari para ulama Tabi’ien. Cara yang diambil oleh mereka dalam menafsirkan al Quran, dapatlah kami katakan hampir serupa dengan cara yang diusahakan oleh Imam Ibnu Jarier At Thabari dalam tafsirnya “Jami’ul Bayaan”. Hanya At Thabari labih luas cara membicarakannya dari pada kedua beliau di atas ini.
5.     Imam Ats Tsa’labi dalam tafsirnya “Araaisul Majaalis”. Beliau ini menafsirkan al Quran dengan cara dongeng-dongeng, cerita-cerita dari orang-orang kuno yang tidak berarti, dengan tidak diselidiki terlebih dahulu benar dan tidaknya. Oleh sebab itu, dalam tafsirnya ini banyak cerita yang sesungguhnya bukan pada tempatnya dan tidak selayaknya dikutip, lalu dinamakan tafsir al Quran, Karena kecuali dari golongan kaum Yahudi atau Nasrani dan lain-lainnya, pula dongeng-dongeng yang didengar dari para penyembah berhala, penyembah api dan lain-lainnya, yang sesungguhnya sangat berlawanan dengan al Quran.


BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
            Dinamika pemikiran tentang al Quran akan terus berlanjut sesuai dengan tuntutan zaman yang nantinya akan dilalui oleh seluruh umat manusia pada umunya dan umat Islam pada khususnya. Al Quran sebagai pedoman hidup merupakan sumber yang nantinya secara sengaja maupun tidak sengaja akan membimbing kita untuk memikirkan kebenaran dari al Quran itu sendiri. Pemikiran para pemikir al Quran saat ini merupakan sebuah contoh bahwa al Quran sesungguhnya lebih dulu mengetahui apa yang akan terjadi di hari kemudian. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mencari hakikat kebenaran yang sesungguhnya terlebih dahulu.





DAFTAR PUSTAKA


1.      Al Mukhlasib, Ra’abal Madjid Abdussalam, 1973, Itijaahatu At-Tafsiri Fi Al-Ashri Al-Hadits, Damaskus: Daarul Fikr
2.      Al Munawar, Said Agil Husin, 2004, Al Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press
3.      Al Qattan, Manna’ Khalil, 2004, Studi Ilmu-Ilmu Quran, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
4.      Ash Shabuni, Muhammad Ali, 1985, At-Tibyan Fi Ulumi Al Quran, Alamul Al-Kutub
5.      Ayub, Mahmud, 1991, Quran dan Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus
6.      Kholil, Moenawar, 1994, Al Quran dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani
7.      Samira’I, Khasib, 1976, Rasyid Ridha Al Mufassir, Baghdad: Daarut Risalah Lit Thaba’ah
8.      Shahrur, Muhammad, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, Penerjemah, Syamsuddin, Sahiron, 2004, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press
9.      Shihab, M. Quraish, 1992, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, Bandung: Mizan