BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al Quran
bukanlah suatu kitab atau buku ilmiah, bukan pula buku sejarah atau buku
sastra, atau buku ensiklopedia. Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad saw. untuk
disampaikan kepada seluruh umat manusia agar dipahami, dikaji, dihayati
dan diamalkan isinya sehingga menjadi bimbingan dan pedoman dalam menjalani
hidup dan kehidupan ini. Al Quran diturunkan oleh Allah secara sempurna seirama
dengan berakhirnya masa risalah kenabian yang ditandai dengan wafatnya
Rasullullah saw. Kemudian al Quran menjadi pusaka yang paling berharga bagi
manusia, khusunya umat beriman, untuk dijadikan penyuluh dan sumber inspirasi
dalam menjalankan berbagai aktivitas. Dengan
demikian al Quran tidak hanya diturunkan untuk orang-orang beriman tetapi juga kepada
seluruh manusia. Hanya saja, dilihat dari aplikasinya, al Quran menjadi pedoman
hidup, mau’ziah, furqon dan rahmat bagi orang yang bertaqwa, tetapi tidak hanya
tertutup kemungkinan untuk dijadikan pelajaran oleh siapa saja yang
mengkajinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Dinamika Pemikiran Para Pakar Kontemporer
2. Perbedaan
dan Persamaan Pemikiran
Para Pakar Al Qur’an Kontemporer dengan Salaf
1.3 Tujuan Penulisan
untuk memenuhi tugas UAS semester 1
dan dapat digunakan sebagai pedoman atau pembelajaran bagi seluruh mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya tentang Dinamika Pemikir dan Pemikiran Kontemporer
Studi Al Qur’an.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 DINAMIKA PEMIKIRAN PARA PAKAR
KONTEMPORER
Pemikir Kontemporer dan
Pemikirannya
Menurut Ibn
Katsir al Quran mulai diturunkan di sebuah tempat yang suci yang agung
yaitu kota suci Makkah. Juga dalam bulan yang agung yaitu bulan Ramadhan, maka
ia menggabungkan antara ruang dan waktu. Selain itu al Quran juga memiliki kualitasyang
berada di luar kemampuan daya dukung sebuah gunung karangpun. Kenapa kami tulis
seperti ini, karena gagasan ini telah
ditegaskan dalam kitab itu sendiri dan ini benar-benar dari Allah. Namun
kekuatan ini tidak hanya kekuatan yang merusak saja, tetapi ia juga sumber
positif bagi kesembuhan dan damai.
Para ahli Barat
umumnya menganggap kata-kata seperti Quran, Furqan, surah
dan seterusnya merupakan kata-kata pinjaman. Para ahli muslim umumnya
menyatakan bahwa Quran itu seluruhnya dalam bahasa Arab dan kata-kata asing di
dalamnya adalah kata-kata yang telah disepakati baik oleh orang Arab maupun
bukan Arab atau sudah menjadi bagian dari bahasa Arab sebelum dipakai dalam al
Quran yang menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan pada ayat-ayat al Quran
yang menyatakan bahwa kitab itu telah diturunkan dalam bahasa Arab.
Dari sedikit
penjabaran pemikiran di atas, ada beberapa ahli tafsir yang menyebutkan bahwa
kebanyakan tafsir yang didasarkan pada tradisi Nabi sebenarnya berpijak pada
haits-hadits yang dapat diragukan, lemah dan sering berupa hadits palsu.
Zarkasyi mengajukan pandapatnya
mengenai peringatan Nabi untuk tidak melakukan penafsiran Quran menurut
pendapat sendiri sebagai berikut: “Jika Hadits ini kuat, maka barangsiapa yang
berbicara mengenai Quran semata-mata berdasarkan pendapatnya sendiri, tanpa
bertumpu pada sesuatupun kecuali ucapannya sendiri, walaupun dia benar, akan
sesat dari jalan yang benar. Ini karena ia berpendapat tanpa bukti apa pun”. Zarkasyi
kemudian mengutip sebuah hadits Rasul yang mendukung penafsiran pribadi:
“Quran itu lembut, mampu terhadap berbagai jenis penafsiran. Maka tafsirkanlah
menurut jenis yang terbaik”.
Kebanyakan
sarjana keagamaan Sunni sangat kritis terhadap tafsir-tafsir yang mewakili
pandangan madzhab pemikiran, aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu
madzhab pemikiran, aliran hukum atau mistik tertentu. Salah satu madzhab tertua
yang dalam beberapa hal pengaruh dalam teologi dan filsafat Islam adalah
Mu’tazilah. Kaum Mu’tazili menekankan rasionalitas ketat dalam pikiran manusia
sebagaimana juga dalam tindakan Ilahi. Allah
bertindak secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan makhluk-makhluk-Nya. Jika
Allah baik, Dia tidak dapat berbuat jahat. maka Allah terikat oleh kebaikan dan
oleh keadilan mutlak-Nya. Karena itu manusia sendirilah yang bertanggungjawab
atas tindakannya.
Kaum Syiah
umumnya sepakat dengan penafsiran Sunni mengenai prinsip Zhahr (luar)
dan Bathn (dalam) Quran. Karena Quran terutama ditujukan kepada para
imam, acuan sejarahnya tentunya kepada mereka lebih dahulu dan barulah setelah
itu kepada para pengikutnya (Syiah) dan berikutnya kepada mereka yang
datang setelahnya. Maka diriwayatkan, Imam Kelima mendefinisikan baik Zahr
maupun Bathn sebagai takwil. Takwil dalam hal ini bukan berarti
penafsiran tetapi pencapaian. Imam Kelima melanjutkan: ”Ada darinya (takwil)
yang telah dipenuhi dan ada yang belum. Ia berlangsung sebagaimana matahari dan
bulan. Bila waktu baginya tiba, ia terpenuhi”.
Syaikh
Muhammad Abduh (1849-1905), salah seorang ahli tafsir yang paling
mengandalkan akal, menganut prinsip “Tidak menafsirkan ayat-ayat yang
kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang
samar atau tidak terperinci oleh al Quran”. Ketika menafsirkan firman Allah
dalam QS 101:6-7 tentang “Timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian”, ‘Abduh
menulis: “Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar
diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang
diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita
menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan”. Bahkan,
‘Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan
menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya sebagaimana sikap yang ditempuh oleh
sahabat ‘Umar bin Khattab ketika membaca abba dalam surat Abasa (80:31)
yang berbicara tentang keanekaragaman nikmat Tuhan kepada makhlukn-makhlukNya.
Sumbangan
besar pemikiran Muhammad Abduh adalah demitologis teks-teks dasar yang
setidaknya dalam tiga cara,
1. Menegaskan
historitas teks-teks sumber (yakni al Quran dan Sunnah) dengan cara yang
moderat dan menggambarkan mentalitas bahasa Arab (pada masa Nabi). Serta
mangaitkan teks-teks sumber itu dengan mentalitas Arab tersebut.
2. Dia mencoba
untuk membedakan al Quran sebagai buku petunjuk dengan buku-buku yang lain yang
berbicara tentang sejarah filsafat atau hukum.
3. Dia
mengesahkan prinsip bahwa al Quran menjelaskan tentang dirinya sendiri (yufassiru ba’dhuhum
ba’dhan) untuk mengurangi efek samping strategi tafsir tradisional yang
terlalu banyak dibebani oleh perdebatan filosofis dan grmatikal yang tidak
perlu, serta dibebani oleh pendapat sekitar identifikasi hal-hal yang tidak
perlu disebutkan dalam al Quran dengan cara mengutip hadits-hadits yang tidak
otentik.
Menurut pemikiran Muhammad Thaha,
pesan ayat-ayat makkiyah yang secara mendasar bersifat spiritual, memuat
keadilan, kebebasan dan kesetaraan telah diganti oleh pesan ayat-ayat madaniyah
yang menekankan hukum aturan dan ketaatan, karena masyarakat Arab tidak
mampu menerima ayat-ayat makkiyah dalm konteks abad ketujuh. Sekarang bukan
hanya mungkin, tetapi juga sangat penting untuk kembali kepada ayat-ayat makkiyah
dan menunda pemberlakuan ayat-ayat madaniyah yang hanya sesuai
dengan masyarakat Arab pada abad ketujuh. Menurut
Thaha, syariah pada abad ketujuh tidak cocok diterapkan pada abad keduapuluh
ini. Dengan menerapkan konsep nasikh-mansukh pada pesan ayat-ayat madaniyah,
yang menurutnya telah dinaskh (dihapus pemberlakuannya) oleh ayat-ayat makkiyah,
maka ayat-ayat makkiyah akan diaktifkan kembali dan diberi kekuatan
besar untuk diterapkan.
Sedangkan
pemikiran Muhammad Shahrur agak sedikit berbeda dengan pemikir lainnya.
Shahrur menyatakan dalam al Quran sebagai kata Tuhan adalah diciptakan (created;makhluk):
“Seluruh yang ada dalam semesta alam adalah kata
Allah, karena kata-katanya tidak berbahasa, kata matahari bagi Allah adalah matahari
itu sendiri. Kata “sun” dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “syams” dalam
bahasa Arab, tetapi bagi Allah “sun” adalah matahari itu sendiri, maka al Quran
sebagai sebuah kata, adalah diciptakan, karena apabila ia tidak diciptakan
berarti Allah adalah zat beretnis Arab”.
Bagi Sharur
kehidupan yang dicontohkan Nabi hanya menyediakan sebuah model bagi muslim
kontemporer, dalam pengertian bahwa beliau telah hidup sesuai pesan Allah,
bukan hanya dalam pengertian bahwa kita hidup harus membuat pilihan yang sama
dengan beliau (secara mutlak). Dalam pandangan Shahrur bahwasanya konteks
terpenting bagi penafsiran al Quran adalah konteks politik dan intelektual yang
menjadi ruang hidup umat dan satu-satunya batasan pada penafsiran di dalam
konteks itu telah tersedia dalam bahasa teks itu sendiri dan tuntunan era modern yang tentangnya (al Quran) harus
bicara.
Disinilah
terletak keunikan pendekatan Shahrur: tidak ada kontekstualisasi baik bagi
teks, penerimaannya, maupun penyusunannya. Dengan kata lain, al Quran menurut
pandangan ini adalah sebuah teks tanpa konteks apapun. Ia adalah teks yang
berdiri sendiri tanpa ada keterkaitan dengan sejarah ataupun masyarakat yang
menjadi tujuan pewahyuan. Nabi hanyalah orang penerima, ia tidak memiliki peran
selain menerima dan menyampaikan pesan hanya terbatas pada cara yang
dijalaninya dalam kehidupan sebagai contoh pertama atau sebagai variasi pertama
dari beragam variasi perwujudan al Quran lainnya.
Sharur,
menerapkan pendekatan linguistik tertentu untuk membedakan sejumlah variasi
kata-kata yang digunakan dalam al Quran. Al Kitab tidak sama dengan al Quran,
keduanya bukan sinonim. Sebenarnya teori tidak ada sinomitas dalam bahasa Arab
Arab berasal dari teori linguistik Dr. Ja’far Dakk Al Bab, yang menulis
pengantar dan menyumbangkan bab penutup Asrar al-Lisan al-Arabi.
Perbedaan al
Quran dan al Kitab sejajar dengan dua aspek yang juga dibedakan Shahrur, yaitu
al Mubuwwah (Kenabian) dan al Risalah (Pesan/Kerisalahan). Yang pertama
menunjukkan perbedaan antara realitas
dan khayalan /ilusi. Sedangkan yang kedua berisi hukum dan aturan
tingkah laku. Yang pertama bersifat obyektif dan independen dari penerimaan
manusia. Yang kedua bersifat subjektif dan tergantung pada pengetahuan manusia
dan kapasitas manusia untuk mengetahui antara yang benar dan yang salah.
Muhammad
Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “Al Quran
memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan
oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah
mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak
pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini
dapat menjadikan petunjuk-petunjuk al Quran terpisah-pisah serta tidak
disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah
dalam al Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat.
Misalnya masalah riba’, yang dikemukakan dalam surat-surat al Baqarah,
Ali Imran dan Al Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan al Quran secara
menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat
yang berbeda-beda itu.
Disadari
pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi, bahwa setiap surat, walaupun
masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang
mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbea-beda tersebut.
Pada bulan
Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir
al Quran Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh
Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, atau
bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema
sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Fakhruddin ar-Razi lebih
mengedepankan ilmu-ilmu aqliah di dalam tafsirnya, sehingga ia mencampur
adukkan di dalamnya berbagai kajian mengenai kedokteran, logika, filsafat, dan
hikmah. Ini semua mengakibatkan kitabnya keluar dari makna-makna Qur’an dan
jiwa ayat-ayatnya serta membawa nash-nash Kitab kepada persoalan-persoalan ilmu
aqliah dan peristilahan ilmiahnya, yang bukan untuk itu nash-nash tersebut
diturunkan. Oleh karena itu kitab ini tidak memiliki ruhaniah tafsir dan hidayah
Islam, sampai-sampai sebagian ulama berkata, “Di dalamnya terdapat segala
sesuatu selain tafsir itu sendiri”, sebagaimana telah kami kemukakan pada
bagian muka.
Kitab al-Kasysyâf karya Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur di
antar sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufasir bir-ra’yi yang mahir dalam
bidang bahasa. Al-Alusi, Abus Su’ud, An-Nasafi dan para mufasir lain
banyak menukil dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebutkan sumbernya. Paham
kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah
Ahmad An-Nayyir yang dituangkan dalam bukunya al-Intisâf. Dalam kitab
ini An-Nayyir menyerang Zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah aqidah mazhab
Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan
dengannya sebagaimana ia pun mendiskusikan pula masalah-masalah kebahasaan.
Al-Maktabah at-Tijariyah Mesir telah menrbitkan al-Kasysyâf cetakan
terakhir yang diterbitkan oleh Mustafa Husain Ahmad, dan diberi lampiran empat
buah kitab; 1) al-Intisâf oleh An-Nayyir, 2) asy-Syâfi fî Tajhrîji
Ahâdîsil Kasysyâf oleh al-Hafiz Ibn Hajar al’Asqalani, 3) Hâsyiyah
Tafsîr al-Kasysyâf oleh Syaikh Muhammad Ulyan al-Marzuqi, dan 4) Masyâhidul
Insâf ‘alâ Syawâhidil Kasysyâf juga oleh al-Marzuqi. Kitab terakhir ini
menunjukkan bahwa tafsir Zamakhsyari mengandung banyak aqidah Mu’tazilah yang
diungkapkan secara tersirat. Dan pada bagian terdahulu kami telah mengemukakan
keterangan yang dinukil dari al-Buqini, “Saya telah mengeluarkan dari
al-Kasysyaf paham Mu’tazilah untuk didiskusikan.”
Fathul Qadir karya Asy-Syaukani adalah sebuah tafsir yang menggaungkan antara riwayat dengan istinbat dan
penalaran atas nash-nash ayat. Dalam tafsir ini asy-Syaukani banyak bersandar
pada tokoh-tokoh mufasir seperti an-Nahhas, Ibn ‘Atiyah dan al-Qurtubi. Dan
tafsir tersebut kini beredar luas di berbagai penjuru dunia Islam.
2.2 PERBEDAAN DAN
PERSAMAAN PEMIKIRAN PARA PAKAR AL QURAN KONTEMPORER DENGAN SALAF
Pengenalan Salaf dan Kontemporer
Al Quran
merupakan kitab suci yang paling sempurna yang antara lain sebagai Hudan Lin
Naas. Al Quran menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam
perkembangan ilmu-ilmu keislaman tetapi juga merupakan inspirator, pemandu
gerakan-gerakan Islam sepanjang empat belas abad. Jika demikian maka pemahaman
terhadap ayat-ayat al Quran melalui penafsiran-penafsirannya mempunyai peranan
penting terhadap maju mundurnya umat. Sekaligus penafsiran-penafsiran itu dapat
mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Sejak masa Nabi
Muhammad saw. hingga saat ini banyak bermunculan para ulama antara lain ulama Mutaqaddimin
dan ulama Mutaakhirin. Pengertian Ulama’ Mutaqaddimin ialah
ulama’ yang tumbuh dan berkembang sebelum masa abad ke-3 H, dalam masa ini memiliki
3 periode:
1. Periode awal
Islam (Rasul dan Sahabat) abad ke-1 H
2. Periode
Tabi’in abad ke-1 H samapi abad ke-2 H
3. Periode
Tabi’ Tabi’in abad ke-2 H dan ke-3 H
Pengertian
ulama mutaakhirin (sesudah tahun 300 H) ialah ulama yang tumbuh dan
berkembang sesudah masa abad ke-3 H, yaitu abad ke-4 H sampai abad ke-12 H.
Ulama mutaqaddimin (ulama salaf/terdahulu)
sumber penafsiran didapat dari penafsiran Rasul saw, penafsiran Sahabat dan
tabi’in yang dikelompokkan Tafsir bi al-Ma’tsur, tetapi mengembangkan
lebih jauh dengan metode-metode kondisional.
Penafsiran Ulama’ Mutaqaddimin
dan Mutaakhirin
Terdapat
perbedaan yang mendasar antara tafsir mutaqaddimin dengan tafsir-tafsir
selanjutnya. Penafsiran pada masa Rasul, Sahabat dan Tabi’in senantiasa
berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan al Quran itu sendiri. Kalau pada
masa Rasul, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas (mubham)
kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan Ijtihad,
khususnya yang memiliki kemampuan seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu, Ubay bin
Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Pada periode
mutaqaddimin mereka belum pernah menaruh perhatian dari segi nahwu dan I’rab
dan merekapun belum mengadakan kajian terhadap suatu ayat al Quran,
susunan-susunan kalimat, majaz, ijaz, ithnab , taqdim dan ta’khir, washal dan
qatha’ serta rida’ dan isitisna’.
Penafsir al Quran Pertama Kali
Penafsir al
Quran yang pertama kali adalah Nabi Muhammad saw. karena beliaulah yang
menerima perintah lansung dari hadhirat yang menurunkan al Quran, agar beliau
menerangkannya tentang barang yang telah diturunkan kepada umat manusia. Dan
tafsir dari Nabi saw. itu adalah yang oleh beliau dinyatakan “sunnah” atau “hadits”
dari beliau, baik yang mengenai urusan kepercayaan atau I’tiqad, maupun yang
mengenai urusan ibadah pula yang mengenai urusan hukum-hukum, urusan
undang-undang, urusan akhlaq atau budi pekerti.
Nabi saw.
memberi pimpinan kepada segenap umatnya
supaya mempelajari al Quran dengan arti kata yang sebenarnya serta mencari
keterangannya yang sulit, sebagaimana oleh beliau pernah dinyatakan dengan
sabdanya, yang artinya:
“Pelajarilah olehmu akan al
Quran dan carilah olehmu akan arti tujuannya yang sulit”.(Riwayat Imam Ad
Dailani dari s. Abi Hurairah r.a.).
Para Ahli Tafsir di Zaman
Sahabat, Tabi’ien dan di Masa Sesudahnya
1. Para ulama ahli tafsir
dizaman para sahabat, menurut riwayat adalah sebagi berikut:
a. Sahabat Abdullah Ibnu Abbas
sebagaimana tadi telah kami uraikan. Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang
paling shahih dan dapat dipercaya adalah yang diriwayatkan dengan jalan Ali bin
Abi Thalhah, yang biasa diambil/dikutip oleh Al bukhari dalam kitab tafsirnya
dan oleh At Thabari dalam kitab tafsirnya serta oleh para Imam ahli tafsir yang
mu’tabar.
b. S. Ali bin Abi Thalib.
Tafsir yang diriwayatkan dari beliau yang paling shahih dan dapat dipercaya,
adalah yang diriwayatkan oleh Wahin dari Ibnu Thufail.
c. S. Abdullah bin Mas’ud.
Tafsir yang shahih dari beliau adalah yang diriwayatkan oleh Imam At Thabari.
d. S. Ubayya bin Ka’ab.
Tafsirnya diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar Razi dan biasa dikutip oleh Imam
Ahmad Bin Hambal, Imam Abu Hatim, Imam Al Hakim dan Imam Ibnu Jarir At Thabari.
2. Para sahabat Nabi yang ahli tafsir al Quran,
banyaklah dari antara mereka yang kemudian mengajarkan tafsir al Quran kepada
para muridnya yang sungguh belajar kepada mereka, ialah para orang Islam yang
hanya dapat bertemu dengan para sahabat Nabi yang masih hidup, yang mereka itu
menurut istilah para ulama Islam disebut para Tabi’in.
Diantara mereka tabi’ien yang ahli tafsir al Quran ialah:
a. Imam Sa’id
bin Jubair i. Imam Qatadah
b. Imam Ikrimah j.
Imam Ar Rabi’an Anas
c. Imam Mujahid k.
Imam Abdurrahman bin Zaid
d. Imam ‘Athaa bin Abi Rabah l.
Imam Ad Dhahhak
bin Muzaahim
e. Imam Muhammag bin Ka’ab m. Imam ‘Athiyyah Al ‘Ufi
f. Imam Abil ‘Aliyah n.
Imam Murrah Al Hamdani
g. Imam Hasan Bashri o.
Imam Abu Malik
h. Imam Athaa bin Abi Salamah
Mereka
itulah para ulama ahli tafsir dimasa sesudah para sahabat Nabi dan mereka itu
oleh para ulama Islam dikenal sebagai para tafsir yang terdahulu.
3. Para
ulama tafsir dimasa kemudian yang semua tafsir mereka disandarkan atas riwayat
dari para sahabat Nabi, para tabi’ien dan tabi’ tabi’ien antara lain sebagai
berikut:
a. Imam Sufyan bin Umaiyah g. Ishaq bin Rahuwaih
b. Waki’ bin Al Jarrah h. Rauh bin
Ubadah
c. Syu’bah bin Al Hujjaj i. Abdu bin Humaid
d. Yazied bin Harun j. Abu Bakar
bin Abi Syaibah
e. Aadam bin Iyas k.
Sa’ied
f. Abdurrazaq
Dan tafsir
mereka itu yang paling baik serta banyak dipercaya adalah tafsir Imam Ibnu
Jarier At Thabari, karena memang kitab tafsir ”Jami’ul Bayaan” yang dikarang
beliau adalah satu-satunya kitab tafsir yang baik susunannya.
Pemikir dan Pemikiran al Quran
Masa Klasik/Salaf
Bila pada
Rasullullah saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas
kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad,
khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Sementara sahabat ada pula yang
menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang
tercantum dalam al Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk
agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab Al-Ahbar dan lain-lain.
Di samping itu, para tokoh tafsir
dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari
kalangan tabi’in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi’in di
kota-kota tersebut, seperti:
- Sa’id bin Jubair, Mujahid bin Jabr di
Makkah yang ketika itu berguru kepada Ibnu ‘Abbas
- Muhammad bin Ka’ab, Zaid
bin Aslam di Madinah yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka’ab
- Al-Hasan Al-Bashriy, Amir
Al-Sya’bi di Irak yang ketika itu berguru kepada Abdullah bin
Mas’ud.
Berdasarkan penuturan Ibn Abbas
bahwa, “Ada empat aspek tafsir: satu yang diketahui oleh orang Arab melalui
pembicaraan mereka; yang lain karena ketidak tahuan, yang tidak seorangpun
dapat dimanfatkan karenanya; aspek lainnya adalah yang diketahui oleh para
ahli; dan yang terakhir adalah aspek yang diketahui Allah”.
Riwayat dari Ibn Abbas mengenai tafsir tidak terhitung banyaknya, dan
apa yang dinukil darinya itu telah dihimpun dalam sebuah kitab tafsir ringkas
yang campur aduk yang diberi nama Tafsir Ibn Abbas. Di dalamnya terdapat
bermacam-macam riwayat dan sanad yang berbeda-beda, tetapi sanad paling baik
adalah melalui Ali bin Abi Talhah al-Hasyimi, dari Ibn Abbas; sanad ini
dipedomani oleh Bukhari dalam kitab Sahih-nya. Sedangkan sanad yang
cukup baik, Jayyid, ialah yang melalui Qais bin Muslim al-Kufi, dari
‘Atâ’ bin as-Sa’ib.
Di dalam kitab-kitab tafsir besar yang mereka sandarkan
kepada Ibn Abbas terdapat kerancuan sanad. Sanad paling rancu dan lemah adalah
sanad melalui al-Kalbi dari Ubu Salih. Al-Kalbi adalah Abu Nasr Muhammad bin
as-Sa’ib (w. 146 H). dan jika dengan sanad ini digabungkan riwayat Muhammad bin
Marwan as-Sadi as-Sagir, maka hal ini akan merupakan silsilatul kazib,
mata rantai kedustaan. Demikian juga sanad Muqatil bin Sulaiman bin Bisyr
al-Azdi. Hanya saja al-Kalbi lebih baik daripadanya karena pada diri Muqatil
terdapat berbagai mazhab atau paham yang rendah.
Sementara itu sanad ad-Dahlak bin Muzahim al-Kufi, dari
Ibn Abbas adalah Munqati’, terputus, karena ad-Dahlak tidak bertemu
langsung dengan Ibn Abbas. Apabila digabungkan kepadanya riwayat Bisyr bin
‘Imarah maka riwayat ini tetap lemah karena Bisyr adalah lemah. Dan jika sanad
itu melalui riwayat Juwaibir, dari ad-Dahlak, maka riwayat tersebut sangat
lemah karena Juwaibir sangat lemah dan ditinggalkan riwayatnya.
Sanad melalui al-‘Aufi, dan seterusnya dari Ibn Abbas,
banyak dipergunakan oleh Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, padahal al-‘Aufi itu
seorang yang lemah meskipun lemahnya tidak keterlaluan dan bahkan terkadang
dinilai hasan oleh Tirmizi.
Dengan penjelasan tersebut dapatlah
kiranya pembaca menyelidiki jalan periwayatan tafsir Ibn Abbas dan mengetahui
mana jalan yang cukup baik dan diterima, serta mana pula jalan yang lemah atau
ditinggalkan, sebab tidak setiap apa yang dirwayatkan dari Ibn Abbas itu sahih
atau pasti. Masalah ini telah kami kemukakan lebih rinci
pada bagian terdahulu ketika membicarakan tentang tafsirnya.[36][36]
Kitab At-Tabari [37][37] tentang tafsir, Jâmi’ul Bayân fî Tafsîril
Qur’ân, merupakan tafsir paling besar dan utama serta menjadi rujukan
penting bagi para musafir bil-ma’sir. Ibn Jarir memaparkan tafsir dengan
menyandarkannya kepada sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia juga
mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Para
ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah disusun sebuah kita tafsir pun
yang dapat menyamainya. Nawawi adalah Tahżîb-nya mengemukakan, “Kitab
Ibn Jarir dalam bidang tafsir adalah sebuah kitab yang belum seorang pun pernah
kitab yang menyaminya.” Ibn Jarir mempunyai keistimewaan tersendiri berupa
istinbat yang unggul dari pemberian isyarat terhadap kata-kata yang samara
i’rabnya. Dengan itulah, antara lain, tafsir tersebut berada di atas
tafsir-tafsir yang lain. Sehingga Ibn Kasir pun banyak menukil darinya
Tentang
tafsir Ibn Kasir Muhammad Rasyid Rida menjelaskan:
“Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang
memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufasir
salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi
pembahasan i’rab dan cabang-cabang balagah yang pada umumnya dibicarakan secara
panjang lebar oleh kebanyakn mufasir; juga menjauhi pembicaraan yang melebar
pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum
atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.”
Di antara ciri khas atau keistimewaannya adalah perhatiannya yang cukup
besar terhadap apa yang mereka namakan “Tafsir Qur’an dengan Qur’an”. Dan
sepanjang pengetahuan kami, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak
memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti
dengan (penafsiran ayat dengan) hadis-hadis marfu’ yang ada relevansinya dengan
ayat (yang sedang ditafsirkan) serta menjelaskan apa yang dijadikan hujjah dari
ayat tersebut. Kemudian diikuti pula dengan asar
para sahaat dan pendapat para tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
Termasuk
keistimewaannya pula ialah disertakannya selalu peringatan akan cerita-cerita
Isra’iliyat tertolak (munkar) yang banyak tersebar dalam tafsir-tafsir
bil-ma’sûr, baik peringatan itu secara global maupun mendetail. Namun alangkah
akan sangat lebih baik lagi andaikan ia menyelidikinya secara tuntas, atau
bahkan tidak memuatnya sama sekali jika tidak untuk keeperluan penyaringan dan
penelitian.
Para ulama ahli
tafsir al Quran di zaman klasik, pada umumnya mereka dalam menafsirkannya
adalah amat berhati-hati, tidak ceroboh dan tidak suka serampangan. Mereka
dalam mengerjakannya, selain sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban sebagai
orang yang mengerti dan dapat menafsirkan al Quran, juga karena mencari
keridhaan Allah semata-mata. Disamping itu mereka insaf,
jangan sampai menyalahi apa yang menjadi tujuan al Quran itu diturunkan kepada
umat manusia.
Sedangkan
para ulama ahli tafsir dimasa kontemporer, menafsirkannya tidak seteliti para
ulama terdahulu. Mareka hanya mengutip dari kitab-kitab tafsir yang terdahulu
dengan tidak diselidiki lebih lanjut lagi, dan pula cara mengutipnya dengan
singkat, sehingga tidak merupakan sebagai tafsir. Maksud mereka hendak
memudahkan orang mempelajari tafsir al Quran, tetapi akhirnya malah menjauhkan
orang dari al Quran.
Disamping
itu, banyak juga di antara ulama yang mengarang tafsir al Quran dengan cara
yang menjadi kesukaan mereka, lantaran dari keahlian masing-masing dan atau
menurut aliran mereka masing-masing. Kalau keahlian dan/atau aliran yang mereka
ikut itu di dalam kebenaran, sesuai dengan perintah Allah dan pemimpin
RasulNya, tidaklah mengapa, tetapi kalau keahlian, kesukaan dan atau aliran
mereka itu di dalam kesesatan tentu tafsir itu akan membahayakan bagi Islam dan
kaum Muslimin.
Namun
diantara perbedaan corak pemikiran para pemikir Salaf dan Kontemporer mereka
juga mempunyai persamaan dalam pemikiran mereka. Yaitu mereka sama-sama menkaji
al Quran sebagai landasan hidup seluruh umat Islam dan menjadi sumber hokum
dalam perikehidupan.
Produk
Pemikiran Para Ulama Kontemporer dan Ulama Salaf
Banyak
kita temukan para Ulama Kontemporer maupun Ulama Salaf melalui hasil karyanya.
Para Ulama tersebut antara lain adalah:
1. Imam Al
Waahidi, dalam tafsirnya “Al Basieth”. Beliau ini dalam tafsirnya hanya
menjelaskan dengan panjang lebar tentang yang berkenaan dengan I’rab al Quran,
menurut qaidah-qaidah atau peraturan-peraturan ilmu nahwu dan sebagainya.
Maksudnya, untuk menunjukkan, bahwa betapa baiknya susunan kalimat-kalimat di
dalam al Quran itu, kalau memang akan diuji menurut peraturan bahasa Arab yang
biasa dipakai oleh para ahli Nahwu.
2. Imam al
Qurthubi dalam tafsirnya “Jaami’u Ahkaamil Quran”. Beliau ini mengarang tafsir
ini dengan sengaja menerangkan ayat-ayatnya disesuaikan dengan segala sesuatu
yang bersangkut-paut dengan soal-soal ilmu Fiqih. Cara beliau menjelaskannya
dengan tertib di dalam tafsirnya itu dari bab bersuci sampai ke bab orang
perempuan yang menjadi hamba sahaya yang dikawini oleh majikannya sampai
melahirkan anak. Dan dalam membicarakannya soal Fiqih itu kadang-kadang dengan
panjang lebar, sehingga keluar dari batas-batas ayat yang ditafsirkan.
3. Imam Ibnul
‘Arabi dalam tafsirnya “Ahkamul Quran”. Beliau ini menafsirkan al Quran dalam
tafsirnya ini hanya menghimpunkan ayat-ayat yang bertalian dengan hukum-hukum
saja, kemudian dibahas dikupas dan dipecahkan hukum-hukumnya, sampai suatu
masalah menjadi beberapa masalah. Maksudnya untuk menunjukkan kehebatan
hukum-hukum yang terkandung di dalam al Quran.
4. Imam al
Baghawi, dalam tafsirnya “Ma’alimut Tanziel”, dan Imam Ibnu Katsir dalam kita
tafsirnya yang terkenal. Keduanya mengarang tafsir, yang semua penjelasannya
disandarkan atas beberapa riwayat atau hadits dari nabi saw. atau disandarkan
atas beberapa riwayat dari para sahabat dan dari para ulama Tabi’ien. Cara yang
diambil oleh mereka dalam menafsirkan al Quran, dapatlah kami katakan hampir
serupa dengan cara yang diusahakan oleh Imam Ibnu Jarier At Thabari dalam
tafsirnya “Jami’ul Bayaan”. Hanya At
Thabari labih luas cara membicarakannya dari pada kedua beliau di atas ini.
5. Imam Ats
Tsa’labi dalam tafsirnya “Araaisul Majaalis”. Beliau ini menafsirkan al Quran
dengan cara dongeng-dongeng, cerita-cerita dari orang-orang kuno yang tidak
berarti, dengan tidak diselidiki terlebih dahulu benar dan tidaknya. Oleh sebab
itu, dalam tafsirnya ini banyak cerita yang sesungguhnya bukan pada tempatnya
dan tidak selayaknya dikutip, lalu dinamakan tafsir al Quran, Karena kecuali
dari golongan kaum Yahudi atau Nasrani dan lain-lainnya, pula dongeng-dongeng
yang didengar dari para penyembah berhala, penyembah api dan lain-lainnya, yang
sesungguhnya sangat berlawanan dengan al Quran.
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
Dinamika pemikiran tentang al
Quran akan terus berlanjut sesuai dengan tuntutan zaman yang nantinya akan
dilalui oleh seluruh umat manusia pada umunya dan umat Islam pada khususnya. Al
Quran sebagai pedoman hidup merupakan sumber yang nantinya secara sengaja
maupun tidak sengaja akan membimbing kita untuk memikirkan kebenaran dari al
Quran itu sendiri. Pemikiran para pemikir al Quran saat ini merupakan sebuah
contoh bahwa al Quran sesungguhnya lebih dulu mengetahui apa yang akan terjadi
di hari kemudian. Sehingga mereka berlomba-lomba untuk mencari hakikat
kebenaran yang sesungguhnya terlebih dahulu.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Al Mukhlasib, Ra’abal Madjid Abdussalam, 1973, Itijaahatu At-Tafsiri Fi
Al-Ashri Al-Hadits, Damaskus: Daarul Fikr
2.
Al Munawar,
Said Agil Husin, 2004, Al Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
Jakarta: Ciputat Press
3.
Al Qattan,
Manna’ Khalil, 2004, Studi Ilmu-Ilmu Quran, Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa
4.
Ash Shabuni,
Muhammad Ali, 1985, At-Tibyan Fi Ulumi Al Quran, Alamul Al-Kutub
5.
Ayub,
Mahmud, 1991, Quran dan Para Penafsirnya, Jakarta: Pustaka Firdaus
6.
Kholil, Moenawar,
1994, Al Quran dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani
7.
Samira’I,
Khasib, 1976, Rasyid Ridha Al Mufassir, Baghdad: Daarut Risalah Lit
Thaba’ah
8.
Shahrur,
Muhammad, al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Mu’ashirah, Penerjemah,
Syamsuddin, Sahiron, 2004, Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Quran
Kontemporer, Yogyakarta: eLSAQ Press
9. Shihab, M. Quraish, 1992, Membumikan Al Quran, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Masyarakat, Bandung: Mizan